Percobaan Pembunuhan Sukarno: Peristiwa Maukar, 9 Maret 1960 [Bagian II]

14 February 2013

print this page
send email

Inilah Saatnya


Sebetulnya aksi penembakan melalui pesawat Mig-17 ini zonder persiapan sama sekali. Hal ini dikatakan Daniel Maukar untuk menegaskan betapa buruknya koordinasi saat itu. Hanya ambil peta untuk mencari wilayah Panembangan, membikin garis-garis koordinat, selesai. Kekurangan persiapan ini merupakan kelalaian yang berakibat buruk, karena pasca menembaki Istana Bogor, ia kehilangan arah hingga akhirnya mendarat darurat di areal persawahan.

9 Maret 1960, di pagi hari cuaca cerah mengiringi denyut nafas kehidupan Jakarta. Tak terkecuali aktivitas yang dilaksanakan di Skadron Udara 11 yang berpangkalan di Kemayoran.  Seperti biasa, latihan sudah menjadi kegiatan rutin skadron tempur ini. Apalagi secara politis, Indonesia sedang dalam masa konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Namun, pagi itu Dani tidak terlihat di antara rekan-rekannya. Ternyata ia pergi ke Bandung sehari sebelumnya menemui Sam Karundeng (salah seorang pimpinan Brigade Manguni) dan Herman Maukar. Kunjungan itu dilakukan sebagai tahap persiapan terakhir. Oleh karena itu ia sengaja membawa pesawat MIG-15 untuk melancarkan rencananya.

Pagi hari sekira pukul 04.30, tanggal 9 Maret, Dani diantar Kapten Komarudin, Teknisi Kepala di Skadron 11 ke Lanud Hussein Sastranegara untuk balik ke Jakarta. Sekira pukul 06.00, Dani berlalu dari Bandung bersama Rob Lucas—temannya Herman yang dua tahun menetap di Belanda untuk urusan bisnis. Tak lama kemudian pesawat sudah mendarat di Kemayoran. Dani lantas larut dalam aktivitas harian skadron. Seorang perwira mengatakan padanya bahwa hari itu Mayor Udara Leo Wattimena memerintahkan untuk melakukan penerbangan supersonik (supersonic flight).

Mengenai cara menerbangkan pesawat hingga kecepatan supersonik dengan MIG-17 yang jelas-jelas subsonik, Leo Wattimena selanjutnya menjelaskan. Untuk mencapai supersonik pesawat harus dibawa ke ketinggian 36.000 kaki, kemudian dengan full throttle pesawat ditukikkan ke bawah hingga mencapai kecepatan suara. Sementara bintara di ruang operasi menyusun list penerbang hari itu. Tiger callsign bagi Letnan Dua Udara Daniel Maukar menempati urutan terakhir list. Tiap-tiap pesawat diberi jeda waktu selama sejam. Sembari menunggu giliran, Dani beristirahat secukupnya. Ia masih sempat bertemu iparnya Captain Edi Tumbelaka, seorang pilot Garuda.

Ketika jam menunjukkan pukul 11.45, Dani tahu bahwa gilirannya telah tiba. Ia mengambil sebuah helm dan dibawanya menuju pesawat MIG-17F Fresco nomor 1112. Pandangannya diarahkan ke selatan, melihat kondisi alam, langit sedikit berawan waktu itu namun hari tetap cerah. Dipandu teknisi, Dani memeriksa kesiapan pesawat lantas naik ke kokpit.

"Kemayoran tower, good morning from Tiger, do you read me?"
"Good morning Tiger. This is Kemayoran tower, read you five by five (loud and clear), come in."[1]


"Tiger local flying. Request to start engine, over."
 "Roger, Tiger, you are cleared to start engine."[2]


Sedetik kemudian Dani melongok kepada teknisi yang berdiri di samping kanannya untuk mengonfirmasi penyalaan baterai. Pesawat dinyalakan dan turbin mesin menggelegar. Dani memerhatikan tachometer bergerak dari angka 2.000, 3.000 dan 4.000 rpm. Perlahan ia mendorong  ke bawah fuel level dan membuka throttle secara bertahap  untuk mencapai tenaga penuh. Setelah memeriksa power, giliran flaps, air brakes, trims, controls hood, cockpit pressurizing system, oxygen mask dan blinker indicator, ia memberi tanda segalanya siap.

"Kemayoran tower, from Tiger, over."
"Roger Tiger, come in."


"Tiger request taxi and take off instructions, over."
"Roger. Taxi to holding position of runway in use one seven. Wind easterly 25 knots. Altimeter setting 75,8 centimeters. Please call back on holding position." Maukar pun menutup kanopi dan selanjutnya mengenakan safety belt lock.


"Kemayoran tower, Tiger on holding position, ready to go, over."
"Roger, Tiger, you are cleared for take off."


Menurut penjelasan yang diberikan, Daniel Maukar harus membawa pesawat heading ke selatan Jakarta. Akan tetapi ia memiliki rencana lain, setelah sempat menanyai seorang personel pangkalan yang habis mengambil bensin di sebuah pangkalan bahan bakar di depan Istana Merdeka pada pagi, apakah bendera kuning berkibar. Dan ketika yang ditanya berkata tidak, ia yakin presiden Soekarno sedang tidak ada di Istana.

Sasaran pertama yang akan menjadi sasaran tembaknya ialah kilang minyak Shell di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dani mengarahkan pesawatnya ke timur ketika ketinggian pesawat mencapai 4.500 kaki. Kemudian mengaktifkan tombol senjata, flipped on gunsight. Tangki-tangki minyak Shell Oil sudah di depan mata, persis di sisi kiri jalurnya. Ketika itu posisi tangki 90 derajat dari sisi kiri ketika Dani menukik. Sudut terbaik untuk menembak adalah 60 derajat, namun sepertinya sudah tidak ada waktu. Jarinya menekan trigger.

Det… det… det… det… 3.500 kaki, 3.000, 2.800, gun sight berhenti pada baris pertama tangki, pada ketinggian 2.400 kaki. Berondongan kanon Nudelman-Rokhter NR-23 kaliber 23 mm itu ternyata kurang sempurna, terlihat dari tracer yang jatuh di depan target. Tidak ada kesempatan untuk mengulangi, Dani menggerutu sambil mengarahkan pesawat ke selatan untuk membuat belokan.

Karena tahu ada larangan pesawat melintas di atas pusat kota, Dani membawa pesawat terbang rendah (tree top) untuk menghindari deteksi radar. Ia berada di atas Pasar Senen dan dari kejauhan Istana sudah terlihat. Pesawat terbang lurus ke selatan membelah Jalan Sabang dengan ketinggian 3.600 kaki. Selepas berbelok Istana terlihat di sebelah kiri dan Dani sudah dalam track yang benar. Ketinggian diturunkan dan sedetik kemudian ia kembali menghujani jalan-jalan Jakarta dengan tembakan dari sudut tembakan 45 derajat. Dani sempat melihat tembakan keduanya ini mengenai pilar-pilar di sisi kanan Istana Merdeka dan merontokkan kaca-kaca besar di belakang pilar tersebut.

Suara mesin Klimov VK-1F afterburning turbo jet seperti merontokkan jantung warga Jakarta siang bolong itu. Karena setelah menembak, Dani langsung pulled up dan menyalakan afterburner untuk segera kabur, meninggalkan suara menggelegar yang menakutkan. Di bawah nampak keramaian lalu lintas dan sedikit kemacetan. Pesawat kembali membuat belokan tajam dan dengan sengaja Dani kembali mengarahkan pesawat ke selatan, persisnya di atas Jalan Sabang. Saat itulah Dani tanpa sadar merasa grogi, tangannya terasa basah, ada perasaan tidak enak di hatinya.

Pesawat dikebut ke selatan dan dalam lima menit ia sudah di atas Bogor. Target terakhir ini cukup gampang ditemukan. Walau sudah ada rasa malas untuk menembak, Dani tetap merampungkan misi terakhirnya. Dani menghabiskan semua peluru kanon 37 mm di hidung pesawat setelah beberapa kali macet. Tidak seperti Istana Merdeka, tembakan kali ini tidak mengenai satu pun gedung Istana. Dani membawa pesawat menanjak ke ketinggian 18.000 kaki dan mengambil heading Bandung.

Tiba-tiba, "Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over." Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas. "Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel." Dani tetap bungkam, karena sekali ia membalas posisinya akan diketahui. Radio dimatikan. Pesawat melaju cukup kencang menuju Bandung. Benak Dani bergalau. Ia membayangkan reaksi Molly apabila tahu apa yang sudah dilakukannya. Pun membayangkan reaksi sang ayah. Hingga ia tidak menyadari sudah terbang jauh, tanpa kendali arah. Ketika tersadar, ia tidak tahu persis berada di mana. Namun Dani yakin, ia pasti sudah mendekati Garut.

Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah ia melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya membumbung di mana-mana. Ketimbang pusing, Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai diturunkan. Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MIG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat[3] setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.

Setelah menurut perhitungan yang pasti bahwa pesawat itu tidak melampaui batas waktu terbangnya. Maka kepada pangkalan-pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara dan Halim Perdanakusumah diperintahkan untuk mencari pesawat tersebut. Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. Namun, belum sampai bunuh diri, ia keburu ditangkap tentara yang telah mencarinya dengan melakukan penyisiran wilayah Garut. Setelah ditangkap, sore harinya Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira teknik datang mengunjunginya.

Di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satu pun tuduhan langsung terarah ke Dani. Begitu pun keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja. Ketika ditanya pendapatnya soal insiden yang terjadi hari ini, sang ayah hanya menjawab, "Orang itu harus bertanggung jawab!"

"Itu anak Bapak." Suara provos itu bagai petir di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Daniel Alexander Maukar pun ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap.

Pengadilan Militer


Terkait peristiwa ini, beragam pendapat mulai muncul. Kolonel Siswadi berpendapat bahwa peristiwa Maukar adalah suatu fragmen saja dari aksi subversif yang sedang berkecamuk di negeri ini.[4] Pada 11 Maret 1960, sekira pukul 09.30, KSAU Suryadarma beserta 120 orang perwira penerbangan AURI menghadap ke Istana Merdeka. Letnan Kolonel Penerbang Omar Dhani mewakili Korps Penerbang AURI menyampaikan pernyataan di hadapan Presiden Soekarno, sebagai berikut:[5]
  1. Menyesal sebesar-besarnya atas terjadinya pengkhianatan terhadap tanah air yang telah membawa korban rakyat.
  2. Merasa salah, kurang waspada terhadap usaha-usaha memperalat kami untuk menghilangkan kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada kami.
  3. Sanggup mengadakan tindakan-tindakan mencegah terulangnya kejadian.
  4. Tetap patuh kepada Presiden/Panglima Tertinggi dan bersedia menerima segala hukuman.
Sebagai bentuk pertanggung jawabannya, KSAU Suryadarma mengundur diri, namun permintaan tersebut ditolak Presiden Soekarno. Pada sore harinya giliran Komandan Skadron 11 Mayor Udara Leo Wattimena, datang menemui Suryadarma. Ia menyatakan siap menerima tanggung jawab atas ulah anak buahnya.

Sementara itu, 10 Maret 1960, Asisten Direktur Penerbangan AURI Mayor Udara Agus Suroto, langsung mengumumkan bahwa Pengadilan AURI Daerah Pertempuran akan mengadili Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar.[6] Meskipun pada kenyataannya Maukar mulai diadili 20 Juli 1960.[7] Setelah melalui persidangan yang memakan waktu cukup panjang Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar dijatuhi hukuman mati, tetapi pelaksanaan eksekusi urung dilakukan. Di saat yang hampir bersamaan, hampir sebagian gerombolan Brigade Manguni diadili.

Dalam periode 11-15 Februari 1961, sekira 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik.[8] Diterangkan pula oleh Mr. Azwar Karim, Penuntut Umum, tujuh orang anggota Brigade Manguni yang bergerak di Jawa Barat akan diadili tanggal 23 Mei 1960. Instruksi Komando Daerah Militer Djakarta Raya, di Pengadilan Negeri Istimewa Djakarta Raya, di bawah pimpinan Hakim Mr. I Made Lapde.[9] Ketujuh anggota itu adalah Jossy Talumena, Tielaque Henry Tombeng, Uthu, Jeffrie Tumumowu, Wim Molte dan Willem Elean, Jan Tampi, Marcus Sia.[10] Mereka ini dituduh melanggar staadblad tahun 1951 No. 78 pasal 1 ayat 1 dan diancam dengan hukuman mati, yaitu memiliki dan menyimpan senjata api dan sekurun waktu 1959-1960 mengadakan rapat untuk makar di Jalan Lamandow Kebayoran Baru dipimpin oleh Samuel Karundeng.[11]

Pada 22 Juni 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan surat keputusan presiden no. 322 tahun 1961 yang berisi pemberian amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Permesta yang telah memenuhi panggilan pemerintah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.[12] Dani pun termasuk salah satu orang yang mendapat amnesti presiden. Ia diampuni Soekarno tahun 1964. Namun baru betul-betul dibebaskan Maret 1968, pada era Soeharto setelah melalui pelbagai proses bolak-balik. Sebagai KSAU, Suryadarma, banyak membantu Dani, sejak proses persidangan hingga dibebaskan. Sampai pada suatu hari, ayahnya secara tidak sengaja bertemu dengan Suryadarma. Kepada Suryadarma, Karel Maukar menyampaikan terima kasih atas kebaikan yang dilakukan Suryadarma terhadap anaknya. (nd)


DAFTAR RUJUKAN
I. BUKU
Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Baskara T. Wardaya, SJ, Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963, Yogyakarta: Galang Press, 2008.
Mangil Martowidjojo, Kesaksian Tentang Bung Karno, Jakarta: Grasindo, 1999.
Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’65: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Jakarta: Yayasan Hak Bangsa, 2001.
Ruslan, dkk., Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2008.
Tim Penulis, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1986.
II. KORAN
Harian Rakjat, 10 Maret 1960.
Harian Rakjat, 11 Maret 1960.
Harian Rakjat, 12 Maret 1960.
Harian Rakjat, 18 Maret 1960.
Harian Rakjat, 13 Maret 1960
Harian Rakjat, 24 Mei 1960.
Harian Rakjat, 13 Juni 1960.

III. INTERNET
http://www.geocities.com/permesta2004/fakta.html. Tanggal akses 16 November 2008.
www.angkasa-online.com, edisi 10 Juli 2007. Tanggal akses 5 Desember 2008.
www.angkasa-online.com, edisi 9 Juni 2007. Tanggal akses 5 Desember 2008.


[1] Ibid., Angkasa.com.
[2] Ibid., Angkasa.com/
[3] Harian Rakjat, 11 Maret 1960.
[4] Harian Rakjat, 18 Maret 1960.
[5] Harian Rakjat, 12 Maret 1960.
[6] Harian Rakjat, 18 Maret 1960.
[7] Harian Rakjat, 13 Juni 1960.
[8] Barbara Sillars Harvery, Op.Cit., hlm. 186.
[9] Harian Rakjat, 13 Maret 1960.
[10] Harian Rakjat, 24 Mei 1960
[11] Harian Rakjat, 24 Mei 1960.

0 komentar:

Post a Comment