Percobaan Pembunuhan Sukarno: Peristiwa Maukar, 9 Maret 1960 [Bagian I]

12 February 2013

print this page
send email

Last Tiger di Langit Jakarta


Pada 9 Maret 1960, sekira pukul dua belas lebih dua puluh menit siang hari, sebuah pesawat tempur jenis Mikoyan-Gurevich MIG-17F Fresco nomor 1112 melayang-layang rendah dengan kecepatan tinggi di langit Jakarta dari arah tenggara. Arah yang ditujunya adalah Istana Merdeka. Pesawat itu diidentifikasi milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Sesampainya di atas Istana Merdeka, pesawat terbang tersebut melepaskan serentetan tembakan mitraliyur ke arah halamannya dengan peluru kanon 23 mm. Mengenai apa saja yang bisa dikenainya: kantor telepon, halaman rumput istana, tangga dan pilar istana, mobil, bahkan manusia. Sesudah menembaki istana tersebut, pesawat tersebut naik lebih tinggi ke atas dan melakukan manuver memutar. Setelahnya melepaskan lagi serentetan tembakan ke arah sasarannya yang sama.

Orang-orang Jakarta yang berada di dekat lokasi kejadian kontan terkesiap melihatnya. Mereka yang ada di dalam gedung perkantoran segera berhamburan keluar disertai rasa ketakutan dan penasaran akan apa yang tengah terjadi. KSAU Marsekal Suryadarma yang tengah rapat di gedung Dewan Nasional, Dr. Soebandrio (Menteri Luar Negeri pada waktu itu) yang sedang rapat di Departemen Luar Negeri, bahkan Presiden Soekarno sendiri yang tengah memimpin rapat di gedung Dewan Nasional—kira-kira 20 meter dari arah istana, keluar untuk memeriksa keadaan.

“Istana ditembak!” Demikian histeris yang terdengar, berhasil menyiutkan nyali setiap orang. Selepas menembaki istana, pesawat itu mengarah ke barat, meninggalkan kepulan asap hasil tembakannya yang masih membumbung tinggi-tinggi ke atas langit.

Dalam sebuah berita yang dikabarkan oleh Harian Rakjat keesokan harinya, tertanggal 10 Maret 1960, aksi brutal pesawat ini mengakibatkan sekurang-kurangnya delapan belas orang terluka. Di Istana Merdeka sendiri ada empat orang korban luka-luka, yaitu seorang pegawai istana dan seorang pekerja pengapur tembok istana terkena tembakan di kakinya, seorang pegawai telepon istana dan seorang pejalan kaki yang sedang berjalan di depan kantor Pertamina turut menjadi korban. Sementara sebuah mobil yang sedang melintas di dekat Istana Merdeka juga tertembus peluru pada bagian bagasinya.[1] Empat belas korban lainnya merupakan korban yang berada di kawasan Cilincing, yang siang itu dirawat di RSUP. Sepuluh nama para korban yang berhasil dicatat di pekabaran ialah para wartawan Harian Rakjat. Di antaranya Eman, Sarah, Surjati, Anim, Djuhri, Simiadi, Emik, Purwa, Ojok dan Suratmin.[2]

Ternyata MIG-17 itu, sehabis menembaki Istana Merdeka, masih melanjutkan pekerjaannya yang belum tuntas. Penembakan ini sendiri direncanakan di tiga titik, meliputi: tangki bahan bakar di Tanjung Priok (Cilincing), Istana Merdeka (Istana Kepresidenan) dan Istana Bogor.[3] Selepas menunaikan tugasnya, pesawat ini lantas direncanakan kabur ke arah Bogor dan mendaratkan pesawatnya di kawasan yang sudah ditentukan. Di mana sang pilot telah diatur untuk diselamatkan oleh pihak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Namun, tak sempat sampai di tempat yang dituju, pesawat sudah mendarat darurat di sekisaran Leles, Garut, Jawa Barat, karena kehabisan bensin. Dan ketika tertangkap semua orang terkejut, siapa nyana penembak sekaligus pilot pesawat itu adalah anggota AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), yang mempunyai kode panggilan: Tiger.[4]

Siapa Tiger?


Tiger adalah nama kode panggilan yang diberikan kepada Maukar oleh pangkalan AURI, sebelum ia melesat di udara untuk sebuah sesi latihan menerbangkan pesawat. Di kalangan AURI, Maukar memang relatif cukup dikenal. Dia berpangkat Letnan II Pnb dan termasuk salah seorang pilot AURI terbaik pada masanya. Kariernya di dunia penerbangan dimulai ketika ia mendaftarkan diri masuk ke AURI, sesudah gagal masuk mendaftar sebagai pilot Garuda karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

Maukar lahir di Bandung pada 20 April 1932. Nama lengkapnya adalah Daniel Alexander Maukar. Orang tuanya bernama Karel Herman Maukar (ayah) dan Enna Talumepa (ibu). Meskipun masih berdarah Manado, Sulawesi Utara, dan dengan kultur Manado yang tetap dipertahankan dalam kehidupan keluarganya, sesungguhnya ia cukup jauh dari adat-istiadat Manado. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara: Paula, Herman, Daniel, Nancy dan Vivi—di mana masing-masing dari kelimanya menyandang nama keluarga Maukar, yang dipakai di belakangnya.

Darah dan jiwa keprajuritan diturunkan dari garis tradisi ayahnya. Ia adalah polisi berpangkat ajun komisaris besar, dan pernah menjabat Acting Kepala Polisi Jakarta. Maukar mengeyam pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Akebono Jatinegara, Jakarta Timur. Selulusnya dari sana, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) K (Kristen). Setamatnya SMP K Dani hendak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pelayaran, namun urung dilakukan sebab Karel Herman Maukar menganjurkannya untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Alasan ini membuat Dani memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA Gang Batu.

Ihwal ketertarikannya pada dunia penerbangan bermula saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA—umur yang tepat bagi seseorang menetapkan cita-citanya. Suatu hari di Bandara Kemayoran, ada pameran mengenai pesawat, bahkan ada undian tiket joy flight dengan pesawat Convair milik Garuda. Dani memenangkan salah sebuah tiket tersebut. Semenjak itulah ia mengaku keranjingan dengan hal-hal yang berbau penerbangan dan pesawat. Bahkan selulusnya dari SMA ia sudah punya cita-cita: menjadi pilot. Karena itu ia mendaftar seleksi masuk sekolah pilot di Garuda. Sayangnya gagal lolos karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Kegagalan ini membuat Dani bekerja demi mengisi kekosongan waktu. Pekerjaan yang dilakoninya adalah menjadi agen polisi selama rentang waktu 1952-1954. Dua tahun berikutnya, Dani ikut tes kembali, tetapi tidak di Garuda. Ia mendaftarkan dirinya di AURI dan diterima, tepatnya pada 1 Januari 1956. Dari sini Dani memulai langkah baru di AURI dengan mengikuti latihan dasar kemiliteran di Margahayu, Bandung, Jawa Barat.

Dua tahun berselang (awal 1958), ketika Permesta sedang gencar-gencarnya melakukan aksi-aksi pemberontakan, Dani telah menyandang brevet penerbang AURI. Tak lama sesudah itu ia ditempatkan di Skuadron 3, sebelum akhirnya harus berangkat ke Palembang untuk melaksanakan misi show of force terhadap elemen PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang masih bertahan. Usai melakukan dinas di Palembang Maukar terpilih untuk dikirim ke Mesir. Pemilihan untuk mengirimnya ke sana penuh dengan suatu kerahasiaan yang cukup rumit. Ada fakta yang menyebutkan bahwa keberangkatannya ke Mesir adalah untuk menyelesaikan misi lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pihak AURI khawatir kalau Maukar ditarik masuk ke Permesta—kelak ketakutan ini menjadi kenyataan. Apalagi sejumlah laporan menunjukkan Dani sudah diincar Permesta. Selama di Mesir, tanpa sepengetahuannya, dirinya terus diawasi agar terhindar dari orang-orang yang tidak dikehendaki.[5] 

Maukar dikirim bersama dengan enam penerbang lainnya, di antaranya Sukardi, Ibnoe Subroto, Saputro, Sofyan Hamzah, Kuncoro Sidhi dan Dani. Rombongan kecil ini dipilih sebagai upaya menyiapkan awak bagi MIG-17 yang dipesan AURI dari Uni Soviet (kini Rusia). Persis 1 Mei 1958 rombongan kecil ini lantas diberangkatkan ke Mesir. Mereka berada di Mesir selama 6 sampai 7 bulan dan berakhir di tanggal terakhir bulan November. Dari Mesir, mereka berpindah ke Polandia untuk materi night fighter.[6]

Sekelumit Mengenai Dewan Manguni


Seperti sudah disebutkan di atas, semasa pendidikan Maukar di AURI, suhu perpolitikan di Indonesia medio 1957-1960 memanas. Dua pergolakan yang besar di daerah munculnya. Pertama, pada 2 Maret 1957, Permesta dideklarasikan oleh H.N. Ventje Sumual. Disusul setahun berikutnya, pada 15 Februari 1958, PRRI didirikan. Penyebab kemunculan pergolakan-pergolakan ini adalah ketidakpuasan masyarakat, khususnya tentara, di daerah bersangkutan terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Beberapa tuntutan yang diinginkan yaitu: (1) perbaikan yang progresif dan radikal terhadap masalah pimpinan negara, (2) penyelesaian kericuhan dalam pimpinan Angkatan Darat, (3) pemberian otonomi seluas-luasnya bagi Pemerintah Daerah Sumatera Tengah, dan (4) menghapuskan kecenderungan “sentralisme” dalam birokrasi yang menyebabkan “stagnasi”  dan “korupsi” dalam pembangunan.[7] Akan tetapi, bahkan sebelum PRRI pecah pada bulan Februari 1958, fokus protes pemberontakan sebenarnya telah berpindah dari Nasution dan kepemimpinan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke Presiden Soekarno dan pendukungnya yang beraliran kiri.[8]

Tuntutan ini semakin memburuk karena peristiwa Cikini. Pada 30 November 1957 dilakukan usaha percobaan pembunuhan Soekarno yang pertama kalinya. Peristiwa ini membikin kondisi didaerah-daerah yang sudah tidak tenang menjadi bergejolak.[9] Selanjutnya hal ini memberi ilham kepada beberapa orang pemimpin militer di Sulawesi untuk menyatukan para bawahan. Sebagaimana Majalah Tempo mencatat:
Sumual mengajak mereka bersatu. Ia sendiri gerah melihat anak buahnya hidup berdesakan di tangsi-tangsi kumuh. “Maka lahirlah Perjuangan Semesta,” katanya. Sumual yang diangkat menjadi “Panglima Permesta”, membacakan “proklamasi” di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar pada pagi 2 maret 1957.[10]

Prosesi tercetusnya proklamasi Permesta, dipaparkan dengan baik oleh Barbara Sillars Harvey dalam bukunya Permesta, Pemberontakan Setengah Hati:
Pada tengah malam 1 Maret itu, orang-orang sipil terkemuka di Makassar dibangunkan dari tidur mereka oleh pasukan berseragam membawa undangan untuk satu pertemuan di Gubernuran; ke tempat itulah mereka akan dibawa dengan segera.[11]
Sekitar lima puluh orang berkumpul dalam pertemuan itu, yang secara resmi dibuka pukul tiga subuh oleh Komandan TT-VII, Sumual. Ia membacakan proklamasi keadaan darurat perang di Indonesia Timur.[12]

Daerah inti Permesta adalah di Sulawesi: di Makassar, tempat perencanaan proklamasi itu dan di Minahasa, di ujung utara dari pula itu, tempat rakyat dalam satu tahun mempersiapkan diri melawan pemerintah pusat di bawah bendera Permesta.[13]

Ketika Permesta resmi dideklarasikan, Dewan Hasanuddin, yang tidak jadi terbentuk, dan Dewan Manguni turut bergabung sebagai bagian di dalamnya. Dewan Manguni terbentuk atas inisiatif Kapten GK. Montolaw dkk. pada akhir 1956. Pimpinan dewan itu terdiri atas Henk. L. Lumanauw (Ketua), A.C.J. Mantiri (Direktur Pelayaran Rakyat Indonesia, Manado) dan Hein Montolalu sebagai anggota serta Jan Torar (Sekretaris).[14] Setelah itu Dewan Manguni yang bergabungnya di Permesta mengubah namanya menjadi Brigade Manguni sebagai bagian dari satuan-satuan otonomi di dalam organisasi militer Permesta. Didapuk sebagai pimpinannya adalah Laurens Saerang.

Brigade Manguni inilah yang kemudian dituding sebagai dalang dibalik aksi penembakan dari udara yang dilakukan oleh Maukar. Beberapa sumber menyebutkan, setelah melalui beberapa pertempuran-pertempuran sengit di Sulawesi, pada akhirnya posisi Permesta mulai melemah. Ini terjadi sesudah Kotamobagu berhasil dikuasai tentara-tentara pemerintah pusat pada September 1959. Akan tetapi, kekalahan itu tidak mutlak disebabkan kejatuhan Kotamobagu saja. Faktor terpentingnya adalah perpecahan di dalam tubuh Permesta itu sendiri. Perpecahan itu meletus mengenai beberapa masalah pokok: penempatan satuan-satuan militer; pengambilalihan sikap terhadap bagian pemberontakan yang dilangsungkan di Sumatera, terutama setelah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) pada Februari 1960; serta perundingan-perundingan dengan pemerintah pusat.[15] Selain itu, perpecahan itu juga terjadi akibat ketidakcocokan pribadi.[16]

Pada 1961, Pemesta menyatakan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (Indonesia), sesudah pihak pemerintah pusat menyerukan kepada pihak Permesta untuk kembali ke Republik. Kemudian dalam periode 11-15 Februari 1961, 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang dari Lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik. Mereka diterima dalam suatu upacara resmi pada 15 Februari 1961 oleh Mayor Jenderal Ahmad Yani.[17]

Brigade Manguni Mendekati Maukar

Dalam medio sebelum kembalinya pihak Permesta ke Republik Indonesia, mereka melakukan pendekatan secara sistematis kepada Maukar. Pendekatan tersebut dilakukan oleh pihak Brigade Manguni yang telah menyebarkan jaringannya sampai ke Jakarta.

Daniel Alexander Maukar melakukan aksi pemboman dan penembakan dengan pesawat MIG-17-nya, karena dipicu sebuah rasa kecewa terhadap presiden. Namun, gosip-gosip yang beredar di tahun-tahun itu menyebutkan pemicu utamanya adalah karena Molly—tunangan Maukar—yang “digoda” oleh Soekarno. Lain lagi dengan yang diwartakan koran-koran sekurun 1960-an, yang menyebutkan ayah Maukar, Karel Herman Maukar, ditangkap dengan tuduhan menyimpan senjata api.[18] Aksi ini disponsori oleh teman-teman Maukar di Brigade Manguni yang ada di Jakarta. Brigade Manguni secara tidak langsung berada di bawah pimpinan Ventje Sumual dan Sam Karundeng.

Pada akhir 1958, selepas kepulangannya dari Mesir, Daniel Maukar mulai didekati secara sistematis oleh Brigade Manguni. Salah satu yang mempermudah jalan ini adalah keikutsertaan Herman, kakaknya, di dalam brigade ini. Beraneka ragam rencana kerap dibeberkan ke telinganya, namun tak pernah ditanggapinya secara serius. Termasuk rencana kakaknya, Herman, untuk menyabotase sebuah kapal tanker yang akan membawa minyak ke Sumatera. Herman berencana meletakkan dinamit di kayu-kayu penahan dermaga, di mana dinamit ini akan meledak jika tersenggol oleh kapal tanker. Dani menganggap hal itu konyol dan hanya akan membuang-buang waktu dan sangat sia-sia.

Menurutnya, dinamit tidak bakal mampu menjebol beton, ibarat kata hanya seperti memasang petasan, bunyinya besar tetapi efek ledakannya kecil. Lebih gilanya lagi, Herman merencanakan pemasangan dinamit ini dengan menyelam memakai snorkel saat pemasangan.[19] Akan tetapi pikiran gila ini urung dilakukan. Lain kesempatan Herman bermaksud meledakkan kereta api pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada pemeriksaan perlintasan rel kereta api. Atau bahkan Herman bersama organisasinya pernah berniat merencanakan penculikan Bung Karno untuk kemudian memaksa Sang Proklamator menghentikan konfrontasi.

Soal hasut menghasut, kehadiran wartawan India yang indekos di rumah orang tuanya, melengkapi semua pengaruh yang diterimanya. Kokar nama wartawan India itu. Ia banyak bertutur mengenai ketimpangan pembangunan sarana-prasarana di Manado dan ia usai mengadakan kunjungan dari sana. Penuturan-penuturan inilah yang membuat Dani, secara perlahan namun pasti—seiring perjalanan waktu, akhirnya berminat masuk Brigade Manguni dan turut serta ambil bagian rencana-rencananya.

Peristiwa 9 Maret 1960 itu merupakan bagian dari rencana makar yang sudah direncanakan sejak tanggal  2 Maret 1960, berbarengan dengan hari jadi Permesta. Akan tetapi pelaksanaan rencana hari yang ditentukan (2 Maret) dan keesokan harinya (3 Maret) gagal. Meskipun gagal rencana makar tak pernah padam. Bahkan, Dani berjanji akan membantu semaksimal mungkin dan meminta untuk segera disampaikan rencana tersebut kepada Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan menjadi pimpinan Front Pemuda Sunda (FPS), Legiun Sunda.[20] Serangan tersebut akan bergerak dari Bandung menuju Jakarta.

Seputar kegagalan rencana penyerangan tanggal 2 Maret itu, Maukar sempat menanyakannya secara langsung kepada beberapa pihak Brigade Manguni yang bisa bertanggung jawab mengambil keputusan, ketika kebetulan ada misi penerbangan ke Paris van Java, Bandung. Ditanyai begitu sejumlah pihak yang ditemuinya malah kelihatan grogi. Hal ini terbukti dari jawaban-jawaban mereka yang tidak masuk akal. Mereka bilang tanggalnya tidak cocok-lah, harinya bukan hari baik-lah atau masih tunggu tanda dari atas. Akhirnya setelah ada perdebatan panjang mengenai hal tersebut, Maukar lantas menemui Mayor Sutisna. Dalam pertemuan ini Maukar diberi briefing (pengarahan) daerah mana yang akan menjadi sasaran.

Awalnya Sutisna meminta Maukar menembaki Lapangan Terbang Halim Perdana Kusuma, namun Maukar menolak dengan alasan Halim adalah rumahnya. Ia meminta jika ingin membuat sasaran, jangan jadikan AURI sebagai sasaran. Berikutnya hasil pertemuan itu menyepakati tiga target yang harus dibombardir Maukar. Istana Merdeka, tangki bahan bakar di Tanjung Priok, dan Istana Bogor. Dan usai membombardir tempat-tempat tersebut, ia akan dilarikan ke Singapura. Akan tetapi, Dani menolak butir terakhir. Ia takut nanti keluarganya yang ada di sini akan diincar pemerintah.[21]

Karena menolak akhirnya disepakati kalau pendaratan darurat Maukar akan diatur di kawasan Darul Islam di Jawa Barat. Kota Malambong dan Panumbangan yang terpilih sebagai tempat pendaratan karena selain termasuk kawasan DI, dua tempat tersebut kebetulan sedang dikuasai oleh Batalion 324, yaitu batalion yang sengaja dikirim dari Sulawesi Utara untuk menumpas gerombolan DI. Karena masih memiliki darah Manado, para konseptor pemboman yakin Dani akan diselamatkan oleh mereka. Dalam hal konsep penyerangan ini, peran Sutisna sangat menentukan.

Bersambung ke Percobaan Pembunuhan Sukarno: Peristiwa Maukar, 9 Maret 1960 [Bagian II]


[1] Harian Rakjat, 10 Maret 1960.

[2] Ibid.

[3] www.angkasa-online.com, edisi 10 Juli 2007.

[4] www.angkasa-online.com, edisi 9 Juni 2007.

[5] Ibid. Angkasa.com

[6] Ibid. Angkasa.com

[7] R.Z. Leirissa, PRRI Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hlm. 39.

[8] Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989, hlm. 200.

[9] Baca: Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 278.

[10] Tempo, Edisi, 17 Agustus 2007, hlm. 47.

[11] Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989, hlm. 68.

[12] Ibid., hlm. 69.

[13] Ibid., hlm. 31.

[14] Baca: R.Z. Leirissa, PRRI Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.

[15] Barbara Sillars Harvey, Op.Cit., hlm.164.

[16] Ibid., hlm 164-165.

[17] Barbara Sillar Harvey, Op.Cit., hlm 189.

[18] Harian Rakjat, 10 Maret 1960.

[19] Ibid. Angkasa.com.

[20] Lihat: http://supermilan.wordpress.com/?s=%22Jagoan+dan+Bajingan+di+Jakarta+tahun +1950-an%22. Tanggal akses 6 Desember 2008. Dalam catatan sejarah Bratamanggala pernah dikenal sebagai pimpinan eks laskar di Jakarta yang tergabung ke dalam Kobra alias Kolonel Bratamanggala. Mereka adalah eks anak buah Bratamanggala yang pernah berjuang di wilayah Jawa Barat. Daerah kekuasaan kelompok ini adalah pasar dan kantong-kantong perdagangan. Di tempat-tempat inilah Kobra "berkuasa" dan menancapkan pengaruhnya sebagai jagoan atau preman dalam istilah sekarang.


[21] Ibid., Angkasa.com.

1 komentar: