Minyak Jarak Murni

23 February 2009

print this page
send email
Lahir dan besar di pedalaman Sumatera membuat lelaki ini mendendam. Hingga umurnya mencapai angka 14 tahun—sebelum meneruskan pendidikan SMA di Bandung (1970)—ia dan saudara-saudaranya diharuskan mencari kayu guna keperluan bahan bakar ibunya memasak. Dan dendam ini berbuah manis ketika tiba saatnya untuk dipetik. Sebab dari hasil dendam-mendendamnya pada masa lalu ini, ia berhasil menciptakan bahan bakar dari minyak jarak murni.

Bukti nyatanya terjadi di tahun 2006 di Jakarta. Waktu itu untuk kali pertamanya dilakukan uji coba minyak jarak murni sebagai bahan bakar mobil diesel. Dalam uji coba ini digunakan tiga mobil Mitsubishi Strada Double Cab, yang menempuh jarak Jakarta-Bandung (sekira 325 km). Dan uji coba itu pun berlangsung mulus tanpa hambatan.

Pemanfaatan jarak untuk keperluan manusia memang bukan barang baru. Medio 1942-1945, Pemerintahan Militer Jepang memaksa penduduk untuk menanam jarak guna diambil minyaknya. Akan tetapi pemanfaatan minyak jarak di masa itu hanya terbatas pada pelumas senjata saja. Ini jelas teknologi tepat guna sekaligus alternatif. Apalagi di masa-masa sekarang ini, di mana harga BBM naik-naik terus, meski di masa pemerintahan SBY diturunkan hingga tiga kali.

Tetapi siapakah penemunya? Seperti yang sudah disebutkan di atas, dia adalah seorang lelaki, putra Sumatera. Namanya Robert Manurung. Lahir di Onan Ganjang, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pria ini tetap konsisten meneliti pirolisa biomassa—usaha mencairkan bahan bakar padat (biomassa) secara termal untuk menghasilkan bahan bakar cair, gas yang bisa terbakar, dan padatan berupa arang—seperti cahaya terang di ujung terowongan.

Ketekunannya berangkat dari pemikiran bagaimana membuat potensi alam Indonesia menjadi berkah yang berguna untuk masyarakatnya. Penelitiannya pada jarak pagar (Jatropha curcas L) memperlihatkan secara teknologi sederhana dan ekonomis memungkinkan mengutip minyak jarak untuk menggantikan solar.

Penelitian minyak jaraknya sudah dilakukan sejak 1997, berbarengan dengan rekan-rekannya di ITB (Institut Teknologi Bandung) dengan fokus ekstraksi minyak kelapa dan jarak. Setahun berselang, pada 1998—ketika Krisis Moneter melanda Indonesia—hasil rancangan ekstraksi itu sempat dipamerkan di Istana Kepresidenan di Jakarta Pusat.

Menyelam sekaligus minum air, itulah gambaran yang tepat dalam menggambarkan perjuangannya. Di samping menyelesaikan tiga jenjang pendidikannya S1 di Teknik Kimia ITB, S2 di Technology Asian Institute of Technology (Bangkok) dan S3 di Rijksuniversiteit Groningen (RuG, Belanda), Manurung juga mendalami struktur pelbagai minyak tumbuhan demi kesempurnaan temuan sebelumnya. Sayangnya, dia gagal mendapat dana Riset Unggulan Terpadu sebab dianggap tidak relevan. Justru RuG dari Belanda yang tertarik membiayainya.

Lantas mengapa jarak yang dipilih? Sebab jarak bisa tumbuh di tanah tandus. Hal ini sudah dibuktikannya, saat melakukan kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, serta sejumlah pesantren di Jawa Barat. Hasil kerja sama ini memperlihatkan produktivitas buah hingga 30 kg per pohon per tahun sehingga keekonomisan mampu dicapai pula.

Selain itu, tanaman ini punya beberapa kelebihan. Di samping buahnya dapat menghasilkan minyak murni yang bisa digunakan sebagai bahan bakar kendaraan, ampasnya bisa dimanfaatkan pula menjadi pupuk. Apabila dibanding-bandingkan presentasenya mencapai 40 persen untuk minyak, 60 persen untuk pupuk.

Nah, ternyata ada dendam yang positif juga. Dan jika disama-samakan dengan bohong putih dan bohong hitam, maka dendam yang satu ini digolongkan ke dalam dendam putih. Anda ingin menirunya? Silakan mendendam.
(Lilih Prilian Ari Pranowo)

0 komentar:

Post a Comment