Ketimbang padi budidaya krisan jauh lebih menguntungkan. Alasan ekonomis itulah yang mengiming-imingi benak petani muda di Desa Hargobinangun, Pakem, Yogyakarta. Bayangkan, dari hitung-hitungan ekonomis di lahan seluas 200 m2, budidaya padi cuma meraup untung sekira 300 ribu rupiah per musim tanam. Sementara budidaya krisan mampu meraup sepuluh kali lipat lebih banyak. Ini jelas menggiurkan.
Tahun 2005 merupakan tahun hoki bagi para petani muda itu. Karena tahun itu tepat paguyuban mereka yang bernama Klantum (Kelompok Tani Udi Makmur) berdiri. Tepat pula mereka didatangi BPTP Yogyakarta dan Balai Benih Bogor untuk diajak kerjasama uji inisiasi bunga krisan di DIY. Bagi para petani Klantum kedua momen ini tak dianggap biasa. Momen tersebut ditangkap sebagai peluang para petani Klantum agar taraf hidup mereka membaik.
Ada gawe begini, Dra. Tuty Arisuryanti, M. Sc. dimintai tolong. Diminta petani, Tuty menyanggupi. Lagipula Tuty sudah lama akrab dengan dunia riset. Naluri serta instingnya tentu peka terhadap hal-hal berbau teliti-meneliti. Apalagi wilayah uji inisiasi masih desa tempatnya tinggal. Di samping secara tradisi akademisi, dia merupakan bagian dari Civitas Akademi Fakultas Biologi UGM (Universtitas Gajah Mada). Tapi di luar semua itu, alasan dia mau melakukan riset ini, karena merasa punya tanggungjawab sebagai akademisi untuk menyebar-nyebar ilmunya.
Jadilah diutak-atiknya bunga krisan itu. Hasil risetnya dia kasih titel, ”Aplikasi Teknik Poliploidisasi dalam Peningkatan Kualitas Bunga Krisan Produksi Kelompok Tani Udi Makmur (Klantum), Dusun Wonokerso, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY.” Tuty tidak sendiri menggarapnya. Dua dosen, Dr. Diah Rachmawati, M. Si. dan Dr. Budi Setiadi Daryono, M. Agr. Sc., ditambah lima mahasiswa diajak bekerja bersama-sama. Di tahun yang sama terbentuklah tim ilmuwan krisan dari Fakultas Biologi UGM.
Menurut kacamata tim, bunga krisan yang ada selama ini masih rata-rata. Artinya, mahkota, buah, biji, daun, dan batang bentuknya belum cukup optimal seperti harapan. Di pasaran, bentuk seperti itu jelas kurang memenuhi selera pasar. Makanya utak-atik ini bertujuan meningkatkan kualitas bibit krisan indukan. Teknik utak-atik ini sendiri namanya poliploidisasi. Penerapannya relatif gampang karena banyak dimanfaatkan di pertanian.
Istilah teknik poliploidisasi adalah suatu metode untuk menghasilkan sel poliploid. Di mana perubahan jumlah kelipatan kromosom dasar yang diakibatkan kelainan pada saat pembelahan sel. Sebuah sel disebut sel poliploid apabila memiliki jumlah kromosom melebihi diploid (2n).
Poliploid didapat melalui pemberian kolkisin, yang berpengaruh menghentikan aktivitas benang-benang pengikat kromosom (spindel) sehingga kromosom yang telah membelah tidak memisahkan diri dalam anaphase, baik pada pembelahan sel tumbuhan maupun hewan. Dengan terhentinya proses pemisahan dalam metaphase mengakibatkan jumlah kromosom dalam suatu sel meningkat, yang hampir selalu diiringi pertambahan ukuran jaringan dan organ tertentu, misal stomata, polen, dan biji.
Cara pemberian kolkisin pada krisan mudah saja. Kolkisin sebesar antara 0,01-1,00% dipakai buat merendam bibit krisan indukan selama 6-72 jam. Menurut hasil riset, perlakuan kolkisin dalam waktu yang makin lama makin menghasilkan pertambahan genom dengan deret ukur lebih dari 2n yaitu 4n, 8n, 16n, dst. Karenanya krisan yang awalnya biasa-biasa saja berubah karakter fenotip diameter bunga, tinggi tanaman, diameter batang, panjang dan lebar daun ke-5 dan ke-10 dari pangkal bunga.
Pun demikian, keberhasilan ini mengalami kendala. Saat ini kolkisin diambil dari umbi tanaman kolkisin autonale yang asalnya dari negara subtropis. Dengan kata lain impor. Dan barang impor sudah tentu mahal. Beruntung, UGM punya stok mahasiswa dengan kemampuan di atas rata-rata. Hatta, dikembangkanlah zat alternatif pengganti kolkisin dari kembang tapak dara. Dan itu pun berhasil. Bahkan hendak dibuatkan patennya.
Atas bantuan dari BPTP DIY dan BALITHI Cianjur, berupa rumah plastik uv seluas 240 m2, penanaman uji coba 4000 krisan dilakukan pada Mei 2005, dipanen 90 ikat (900 batang) krisan selama musim tanam (3 bulan). Seiring perkembangan waktu, budidaya krisan semakin berkembang. Hingga laporan risetnya ditulis tahun 2008, budidaya krisan di Desa Hargobinangun telah mencapai luasan lahan sebesar 2800 m2 dengan kapasitas tanam sekira 150000 batang per musim tanam. Apabila dibanding-bandingkan dengan awal dulu, dalam jangka waktu 2,5 tahun, kapasitas produksi telah naik menjadi 37 kali lipat (3700%). Luar biasa!
Meski sudah tidak lagi fokus di tanaman dan beralih ke ikan, tetapi Tuty bersama timnya yang dipegang Budi Setiadi Daryono, hendak mengembangkan krisan untuk nilai ekonomis lain. Misal, krisan spa dan krisan teh.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment