Last Tiger di Langit Jakarta
Pada 9 Maret 1960,
sekira pukul dua belas lebih dua puluh menit siang hari, sebuah pesawat tempur jenis
Mikoyan-Gurevich MIG-17F Fresco nomor 1112 melayang-layang rendah dengan
kecepatan tinggi di langit Jakarta dari arah tenggara. Arah yang ditujunya
adalah Istana Merdeka. Pesawat itu diidentifikasi milik Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI).
Sesampainya di atas Istana Merdeka, pesawat terbang tersebut melepaskan serentetan tembakan mitraliyur ke arah halamannya dengan peluru kanon 23 mm. Mengenai apa saja yang bisa dikenainya: kantor telepon, halaman rumput istana, tangga dan pilar istana, mobil, bahkan manusia. Sesudah menembaki istana tersebut, pesawat tersebut naik lebih tinggi ke atas dan melakukan manuver memutar. Setelahnya melepaskan lagi serentetan tembakan ke arah sasarannya yang sama.
Orang-orang Jakarta yang berada di dekat
lokasi kejadian kontan terkesiap melihatnya. Mereka yang ada di dalam gedung perkantoran
segera berhamburan keluar disertai rasa ketakutan dan penasaran akan apa yang
tengah terjadi. KSAU Marsekal Suryadarma yang tengah rapat di gedung Dewan
Nasional, Dr. Soebandrio (Menteri Luar Negeri pada waktu itu) yang sedang rapat
di Departemen Luar Negeri, bahkan Presiden Soekarno sendiri yang tengah memimpin
rapat di gedung Dewan Nasional—kira-kira 20 meter dari arah istana, keluar
untuk memeriksa keadaan.
“Istana ditembak!” Demikian histeris yang terdengar,
berhasil menyiutkan nyali setiap orang. Selepas menembaki istana, pesawat itu
mengarah ke barat, meninggalkan kepulan asap hasil tembakannya yang masih membumbung
tinggi-tinggi ke atas langit.
Dalam sebuah berita yang dikabarkan oleh Harian
Rakjat keesokan harinya, tertanggal 10 Maret 1960, aksi brutal
pesawat ini mengakibatkan sekurang-kurangnya delapan belas orang terluka. Di
Istana Merdeka sendiri ada empat orang korban luka-luka, yaitu seorang pegawai
istana dan seorang pekerja pengapur tembok istana terkena tembakan di kakinya,
seorang pegawai telepon istana dan seorang pejalan kaki yang sedang berjalan di
depan kantor Pertamina turut menjadi korban. Sementara sebuah mobil yang sedang
melintas di dekat Istana Merdeka juga tertembus peluru pada bagian bagasinya.[1]
Empat belas korban lainnya merupakan korban yang berada di kawasan Cilincing,
yang siang itu dirawat di RSUP. Sepuluh nama para korban yang berhasil dicatat
di pekabaran ialah para wartawan Harian Rakjat. Di antaranya Eman,
Sarah, Surjati, Anim, Djuhri, Simiadi, Emik, Purwa, Ojok dan Suratmin.[2]
Ternyata MIG-17 itu, sehabis menembaki Istana
Merdeka, masih melanjutkan pekerjaannya yang belum tuntas. Penembakan ini
sendiri direncanakan di tiga titik,
meliputi: tangki bahan bakar di Tanjung Priok (Cilincing), Istana
Merdeka (Istana Kepresidenan) dan Istana Bogor.[3]
Selepas menunaikan tugasnya, pesawat ini lantas direncanakan kabur ke arah
Bogor dan mendaratkan pesawatnya di kawasan yang sudah ditentukan. Di mana sang
pilot telah diatur untuk diselamatkan oleh pihak DI/TII (Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia). Namun, tak sempat sampai di tempat yang dituju, pesawat sudah
mendarat darurat di sekisaran Leles, Garut, Jawa Barat, karena kehabisan
bensin. Dan ketika tertangkap semua orang terkejut, siapa nyana penembak
sekaligus pilot pesawat itu adalah anggota AURI (Angkatan Udara Republik
Indonesia), yang mempunyai kode panggilan: Tiger.[4]
Siapa Tiger?
Tiger adalah nama kode panggilan yang
diberikan kepada Maukar oleh pangkalan AURI, sebelum ia melesat di udara untuk
sebuah sesi latihan menerbangkan pesawat. Di kalangan AURI, Maukar memang
relatif cukup dikenal. Dia berpangkat Letnan II Pnb dan termasuk salah seorang pilot
AURI terbaik pada masanya. Kariernya di dunia penerbangan dimulai ketika ia mendaftarkan
diri masuk ke AURI, sesudah gagal masuk mendaftar sebagai pilot Garuda karena tidak
memenuhi persyaratan kesehatan.
Maukar lahir di Bandung pada 20 April 1932.
Nama lengkapnya adalah Daniel Alexander Maukar. Orang tuanya bernama Karel
Herman Maukar (ayah) dan Enna Talumepa (ibu). Meskipun masih berdarah Manado,
Sulawesi Utara, dan dengan kultur Manado yang tetap dipertahankan dalam
kehidupan keluarganya, sesungguhnya ia cukup jauh dari adat-istiadat Manado. Ia
adalah anak ketiga dari lima bersaudara: Paula, Herman, Daniel, Nancy dan Vivi—di
mana masing-masing dari kelimanya menyandang nama keluarga Maukar, yang dipakai
di belakangnya.
Darah dan jiwa keprajuritan diturunkan dari garis
tradisi ayahnya. Ia adalah polisi berpangkat ajun komisaris besar, dan pernah menjabat
Acting Kepala Polisi Jakarta. Maukar mengeyam pendidikan formal di Sekolah Dasar
(SD) Akebono Jatinegara, Jakarta Timur. Selulusnya dari sana, ia melanjutkan ke
Sekolah Menengah Pertama (SMP) K (Kristen). Setamatnya SMP K Dani hendak
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pelayaran, namun urung dilakukan sebab Karel
Herman Maukar menganjurkannya untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA).
Alasan ini membuat Dani memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA Gang
Batu.
Ihwal ketertarikannya pada dunia penerbangan bermula
saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA—umur yang tepat bagi seseorang menetapkan
cita-citanya. Suatu hari di Bandara Kemayoran, ada pameran mengenai pesawat, bahkan
ada undian tiket joy flight dengan pesawat Convair milik Garuda. Dani memenangkan
salah sebuah tiket tersebut. Semenjak itulah ia mengaku keranjingan dengan hal-hal
yang berbau penerbangan dan pesawat. Bahkan selulusnya dari SMA ia sudah punya cita-cita:
menjadi pilot. Karena itu ia mendaftar seleksi masuk sekolah pilot di Garuda.
Sayangnya gagal lolos karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Kegagalan
ini membuat Dani bekerja demi mengisi kekosongan waktu. Pekerjaan yang
dilakoninya adalah menjadi agen polisi selama rentang waktu 1952-1954. Dua
tahun berikutnya, Dani ikut tes kembali, tetapi tidak di Garuda. Ia mendaftarkan
dirinya di AURI dan diterima, tepatnya pada 1 Januari 1956. Dari sini Dani
memulai langkah baru di AURI dengan mengikuti latihan dasar kemiliteran di
Margahayu, Bandung, Jawa Barat.
Dua
tahun berselang (awal 1958), ketika Permesta sedang gencar-gencarnya melakukan
aksi-aksi pemberontakan, Dani telah menyandang brevet penerbang AURI. Tak lama sesudah
itu ia ditempatkan di Skuadron 3, sebelum akhirnya harus berangkat ke Palembang
untuk melaksanakan misi show of force terhadap elemen PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) yang
masih bertahan. Usai melakukan dinas di Palembang Maukar terpilih untuk dikirim
ke Mesir. Pemilihan untuk mengirimnya ke sana penuh dengan suatu kerahasiaan
yang cukup rumit. Ada fakta yang menyebutkan bahwa keberangkatannya ke Mesir
adalah untuk menyelesaikan misi lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pihak AURI
khawatir kalau Maukar ditarik masuk ke Permesta—kelak ketakutan ini menjadi
kenyataan. Apalagi sejumlah laporan menunjukkan Dani sudah diincar Permesta.
Selama di Mesir, tanpa sepengetahuannya, dirinya terus diawasi agar terhindar
dari orang-orang yang tidak dikehendaki.[5]
Maukar
dikirim bersama dengan enam penerbang lainnya, di antaranya Sukardi, Ibnoe
Subroto, Saputro, Sofyan Hamzah, Kuncoro Sidhi dan Dani. Rombongan kecil ini
dipilih sebagai upaya menyiapkan awak bagi MIG-17 yang dipesan AURI dari Uni
Soviet (kini Rusia). Persis 1 Mei 1958 rombongan kecil ini lantas diberangkatkan
ke Mesir. Mereka berada di Mesir selama 6 sampai 7 bulan dan berakhir di
tanggal terakhir bulan November. Dari Mesir, mereka berpindah ke Polandia untuk
materi night fighter.[6]
Sekelumit Mengenai Dewan Manguni
Seperti sudah disebutkan di atas, semasa pendidikan
Maukar di AURI, suhu perpolitikan di Indonesia medio 1957-1960 memanas. Dua
pergolakan yang besar di daerah munculnya. Pertama, pada 2 Maret 1957, Permesta
dideklarasikan oleh H.N. Ventje Sumual. Disusul setahun berikutnya, pada 15
Februari 1958, PRRI didirikan. Penyebab kemunculan pergolakan-pergolakan ini adalah
ketidakpuasan masyarakat, khususnya tentara, di daerah bersangkutan terhadap
kebijakan pemerintah pusat.
Beberapa tuntutan yang diinginkan yaitu: (1)
perbaikan yang progresif dan radikal terhadap masalah pimpinan negara, (2)
penyelesaian kericuhan dalam pimpinan Angkatan Darat, (3) pemberian otonomi seluas-luasnya
bagi Pemerintah Daerah Sumatera Tengah, dan (4) menghapuskan kecenderungan
“sentralisme” dalam birokrasi yang menyebabkan “stagnasi” dan “korupsi” dalam pembangunan.[7]
Akan tetapi, bahkan sebelum PRRI pecah pada bulan Februari 1958, fokus protes pemberontakan
sebenarnya telah berpindah dari Nasution dan kepemimpinan ABRI (Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia) ke Presiden Soekarno dan pendukungnya yang
beraliran kiri.[8]
Tuntutan ini semakin memburuk karena
peristiwa Cikini. Pada 30 November 1957 dilakukan usaha percobaan pembunuhan Soekarno
yang pertama kalinya. Peristiwa ini membikin kondisi didaerah-daerah yang sudah
tidak tenang menjadi bergejolak.[9]
Selanjutnya hal ini memberi ilham kepada beberapa orang pemimpin militer di Sulawesi
untuk menyatukan para bawahan. Sebagaimana Majalah Tempo mencatat:
Sumual mengajak mereka bersatu. Ia sendiri
gerah melihat anak buahnya hidup berdesakan di tangsi-tangsi kumuh. “Maka
lahirlah Perjuangan Semesta,” katanya. Sumual yang diangkat menjadi “Panglima
Permesta”, membacakan “proklamasi” di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar pada
pagi 2 maret 1957.[10]
Prosesi tercetusnya proklamasi Permesta, dipaparkan
dengan baik oleh Barbara Sillars Harvey dalam bukunya Permesta,
Pemberontakan Setengah Hati:
Pada tengah malam 1 Maret itu,
orang-orang sipil terkemuka di Makassar dibangunkan dari tidur mereka oleh
pasukan berseragam membawa undangan untuk satu pertemuan di Gubernuran; ke
tempat itulah mereka akan dibawa dengan segera.[11]
Sekitar lima puluh orang
berkumpul dalam pertemuan itu, yang secara resmi dibuka pukul tiga subuh oleh
Komandan TT-VII, Sumual. Ia membacakan proklamasi keadaan darurat perang di
Indonesia Timur.[12]
Daerah inti Permesta adalah di Sulawesi: di
Makassar, tempat perencanaan proklamasi itu dan di Minahasa, di ujung utara
dari pula itu, tempat rakyat dalam satu tahun mempersiapkan diri melawan
pemerintah pusat di bawah bendera Permesta.[13]
Ketika Permesta resmi dideklarasikan, Dewan
Hasanuddin, yang tidak jadi terbentuk, dan Dewan Manguni turut bergabung sebagai
bagian di dalamnya. Dewan Manguni terbentuk atas inisiatif Kapten GK. Montolaw
dkk. pada akhir 1956. Pimpinan dewan itu terdiri atas Henk. L. Lumanauw (Ketua),
A.C.J. Mantiri (Direktur Pelayaran Rakyat Indonesia, Manado) dan Hein Montolalu
sebagai anggota serta Jan Torar (Sekretaris).[14]
Setelah itu Dewan Manguni yang bergabungnya di Permesta mengubah namanya menjadi
Brigade Manguni sebagai bagian dari satuan-satuan otonomi di dalam organisasi
militer Permesta. Didapuk sebagai pimpinannya adalah Laurens Saerang.
Brigade Manguni inilah yang kemudian dituding
sebagai dalang dibalik aksi penembakan dari udara yang dilakukan oleh Maukar. Beberapa
sumber menyebutkan, setelah melalui beberapa pertempuran-pertempuran sengit di Sulawesi,
pada akhirnya posisi Permesta mulai melemah. Ini terjadi sesudah Kotamobagu berhasil
dikuasai tentara-tentara pemerintah pusat pada September 1959. Akan tetapi, kekalahan
itu tidak mutlak disebabkan kejatuhan Kotamobagu saja. Faktor terpentingnya
adalah perpecahan di dalam tubuh Permesta itu sendiri. Perpecahan itu meletus
mengenai beberapa masalah pokok: penempatan satuan-satuan militer;
pengambilalihan sikap terhadap bagian pemberontakan yang dilangsungkan di Sumatera,
terutama setelah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) pada Februari 1960;
serta perundingan-perundingan dengan pemerintah pusat.[15]
Selain itu, perpecahan itu juga terjadi akibat ketidakcocokan pribadi.[16]
Pada 1961, Pemesta menyatakan kembali ke
pangkuan ibu pertiwi (Indonesia), sesudah pihak pemerintah pusat menyerukan kepada
pihak Permesta untuk kembali ke Republik. Kemudian dalam periode 11-15 Februari
1961, 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta
(PWP) dan orang-orang dari Lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah
pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik. Mereka diterima dalam suatu
upacara resmi pada 15 Februari 1961 oleh Mayor Jenderal Ahmad Yani.[17]
Brigade Manguni Mendekati Maukar
Dalam medio sebelum kembalinya pihak Permesta
ke Republik Indonesia, mereka melakukan pendekatan secara sistematis kepada
Maukar. Pendekatan tersebut dilakukan oleh pihak Brigade Manguni yang telah
menyebarkan jaringannya sampai ke Jakarta.
Daniel Alexander Maukar melakukan aksi pemboman
dan penembakan dengan pesawat MIG-17-nya, karena dipicu sebuah rasa kecewa terhadap
presiden. Namun, gosip-gosip yang beredar di tahun-tahun itu menyebutkan pemicu
utamanya adalah karena Molly—tunangan Maukar—yang “digoda” oleh Soekarno. Lain
lagi dengan yang diwartakan koran-koran sekurun 1960-an, yang menyebutkan ayah
Maukar, Karel Herman Maukar, ditangkap dengan tuduhan menyimpan senjata api.[18]
Aksi ini disponsori oleh teman-teman Maukar di Brigade Manguni yang ada di
Jakarta. Brigade Manguni secara tidak langsung berada di bawah pimpinan Ventje
Sumual dan Sam Karundeng.
Pada akhir 1958, selepas kepulangannya dari
Mesir, Daniel Maukar mulai didekati secara sistematis oleh Brigade Manguni. Salah
satu yang mempermudah jalan ini adalah keikutsertaan Herman, kakaknya, di dalam
brigade ini. Beraneka ragam rencana kerap dibeberkan ke telinganya, namun tak
pernah ditanggapinya secara serius. Termasuk rencana kakaknya, Herman, untuk
menyabotase sebuah kapal tanker yang akan membawa minyak ke Sumatera. Herman berencana
meletakkan dinamit di kayu-kayu penahan dermaga, di mana dinamit ini akan
meledak jika tersenggol oleh kapal tanker. Dani menganggap hal itu konyol dan hanya
akan membuang-buang waktu dan sangat sia-sia.
Menurutnya,
dinamit tidak bakal mampu menjebol beton, ibarat kata hanya seperti memasang
petasan, bunyinya besar tetapi efek ledakannya kecil. Lebih gilanya lagi,
Herman merencanakan pemasangan dinamit ini dengan menyelam memakai snorkel saat
pemasangan.[19]
Akan tetapi pikiran gila ini urung dilakukan. Lain kesempatan Herman bermaksud
meledakkan kereta api pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada
pemeriksaan perlintasan rel kereta api. Atau bahkan Herman bersama
organisasinya pernah berniat merencanakan penculikan Bung Karno untuk kemudian
memaksa Sang Proklamator menghentikan konfrontasi.
Soal
hasut menghasut, kehadiran wartawan India yang indekos di rumah orang tuanya,
melengkapi semua pengaruh yang diterimanya. Kokar nama wartawan India itu. Ia
banyak bertutur mengenai ketimpangan pembangunan sarana-prasarana di Manado dan
ia usai mengadakan kunjungan dari sana. Penuturan-penuturan inilah yang membuat
Dani, secara perlahan namun pasti—seiring perjalanan waktu, akhirnya berminat masuk
Brigade Manguni dan turut serta ambil bagian rencana-rencananya.
Peristiwa 9 Maret 1960 itu merupakan bagian
dari rencana makar yang sudah direncanakan sejak tanggal 2 Maret 1960, berbarengan dengan hari jadi Permesta.
Akan tetapi pelaksanaan rencana hari yang ditentukan (2 Maret) dan keesokan
harinya (3 Maret) gagal. Meskipun gagal rencana makar tak pernah padam. Bahkan,
Dani berjanji akan membantu semaksimal mungkin dan meminta untuk segera
disampaikan rencana tersebut kepada Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan
menjadi pimpinan Front Pemuda Sunda (FPS), Legiun Sunda.[20]
Serangan tersebut akan bergerak dari Bandung menuju Jakarta.
Seputar
kegagalan rencana penyerangan tanggal 2 Maret itu, Maukar sempat menanyakannya
secara langsung kepada beberapa pihak Brigade Manguni yang bisa bertanggung
jawab mengambil keputusan, ketika kebetulan ada misi penerbangan ke Paris van
Java, Bandung. Ditanyai begitu sejumlah pihak yang ditemuinya malah kelihatan grogi.
Hal ini terbukti dari jawaban-jawaban mereka yang tidak masuk akal. Mereka bilang
tanggalnya tidak cocok-lah, harinya bukan hari baik-lah atau masih tunggu tanda
dari atas. Akhirnya setelah ada perdebatan panjang mengenai hal tersebut, Maukar
lantas menemui Mayor Sutisna. Dalam pertemuan ini Maukar diberi briefing
(pengarahan) daerah mana yang akan menjadi sasaran.
Awalnya
Sutisna meminta Maukar menembaki Lapangan Terbang Halim Perdana Kusuma, namun
Maukar menolak dengan alasan Halim adalah rumahnya. Ia meminta jika ingin membuat
sasaran, jangan jadikan AURI sebagai sasaran. Berikutnya hasil pertemuan itu menyepakati
tiga target yang harus dibombardir Maukar. Istana Merdeka, tangki bahan bakar
di Tanjung Priok, dan Istana Bogor. Dan usai membombardir tempat-tempat
tersebut, ia akan dilarikan ke Singapura. Akan tetapi, Dani menolak butir
terakhir. Ia takut nanti keluarganya yang ada di sini akan diincar pemerintah.[21]
Karena
menolak akhirnya disepakati kalau pendaratan darurat Maukar akan diatur di kawasan
Darul Islam di Jawa Barat. Kota Malambong dan Panumbangan yang terpilih sebagai
tempat pendaratan karena selain termasuk kawasan DI, dua tempat tersebut kebetulan
sedang dikuasai oleh Batalion 324, yaitu batalion yang sengaja dikirim dari
Sulawesi Utara untuk menumpas gerombolan DI. Karena masih memiliki darah Manado,
para konseptor pemboman yakin Dani akan diselamatkan oleh mereka. Dalam hal konsep
penyerangan ini, peran Sutisna sangat menentukan.
Bersambung ke Percobaan Pembunuhan Sukarno: Peristiwa Maukar, 9 Maret 1960 [Bagian II]
[1] Harian
Rakjat, 10 Maret 1960.
[2] Ibid.
[3] www.angkasa-online.com, edisi 10 Juli
2007.
[4] www.angkasa-online.com, edisi 9 Juni
2007.
[5] Ibid. Angkasa.com
[6] Ibid. Angkasa.com
[7] R.Z. Leirissa, PRRI Permesta, Strategi Membangun
Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hlm. 39.
[8]
Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1989, hlm. 200.
[9] Baca: Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah
Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 278.
[10] Tempo, Edisi, 17 Agustus
2007, hlm. 47.
[11] Barbara
Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1989, hlm. 68.
[12] Ibid.,
hlm. 69.
[13] Ibid.,
hlm. 31.
[14] Baca: R.Z. Leirissa, PRRI Permesta, Strategi
Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
[15] Barbara Sillars Harvey, Op.Cit., hlm.164.
[16] Ibid., hlm 164-165.
[17] Barbara Sillar Harvey, Op.Cit., hlm 189.
[18] Harian
Rakjat, 10 Maret 1960.
[19] Ibid. Angkasa.com.
[20] Lihat: http://supermilan.wordpress.com/?s=%22Jagoan+dan+Bajingan+di+Jakarta+tahun
+1950-an%22.
Tanggal akses 6 Desember 2008. Dalam catatan sejarah Bratamanggala pernah
dikenal sebagai pimpinan eks laskar di Jakarta yang tergabung ke dalam Kobra
alias Kolonel Bratamanggala. Mereka adalah eks anak buah Bratamanggala yang
pernah berjuang di wilayah Jawa Barat. Daerah kekuasaan kelompok ini adalah
pasar dan kantong-kantong perdagangan. Di tempat-tempat inilah Kobra
"berkuasa" dan menancapkan pengaruhnya sebagai jagoan atau preman
dalam istilah sekarang.
usaha pembunuhan Soekarno selalu gagal
ReplyDelete