Khazanah pers sejarah Indonesia telah mencatatnya sebagai salah seorang yang memiliki peran di kancah percaturan pers Indonesia dalam zaman pergerakan dan masa setelah Indonesia merdeka. Orang tersebut adalah Adurrahman Baswedan. Seorang pria kelahiran Bangil, Jawa Timur, 18 September 1908. Baswedan mempunyai darah keturunan Arab. Karakternya khas; sebagai manusia yang dilahirkan zaman pergerakan, dia cepat panas dan penuh vitalitas. Pendidikan formalnya ditempuh di Madrasah, Ampel, Surabaya dan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta namun tidak rampung, tahun 1971.
Baswedan merupakan seorang jurnalis terkemuka dalam memainkan peranannya dalam mengusung tema persamaan antara orang-orang peranakan Arab dan orang-orang pribumi dalam masyarakat Indonesia yang luas. Pandangannya luas sebagai seorang jurnalis maupun politikus yang memainkan peranan di zaman pergerakan. Baswedan merupakan sosok unik yang pernah ada dalam sejarah Indonesia yang muncul diantara masalah masyarakat keturunan Arab.
g...Baswedan's life and career form a unique entry in the history of the problems that the Hadhrami community has experienced, both in the Dutch East Indies and in Indonesia.”
Sejak berusia 17 tahun, pada tahun 1925, Baswedan masuk Islam sebagai mubaligh Muhammdiyah, menyebarkan luaskan ajaran ke-Muhammadiyah-an serta ke-Islam-an Pula mencatatkan dirinya sebagai anggota Jong Islamieten Bond, sebuah organisasi pemuda Islam Indonesia terpelajar. Salah satu peran yang diakui memiliki pengaruh dalam arah perubahan sejarah bangsa Indonesia adalah ketika A.R Baswedan ini mendirikan PAI (Partai Arab Indonesia) di tahun 1934. Partai PAI ini secara tegas memberikan ajaran bagi para anggotanya bahwa Indonesia adalah tanah tumpah darah.
Sebagai seorang pendobrak pada masanya, Baswedan menyadari penyebaran gagasan yang efektif dapat dilakukan melalui surat kabar, baik majalah maupun koran. Intinya melalui tulisan. Karena itu pulalah, pada tahun 1932, Baswedan masuk salah satu jajaran anggota redaksi harian Tionghoa-Melayu di Surabaya, yaitu Sin Tit Po. Pimpinan Sin Tit Po bernama Liem Koen Hian, seorang peranakan Tionghoa yang sepaham dengan jalan pikirnya. Yaitu bahwa tempat kaum peranakan bukanlah di negeri leluhur sana, melainkan di Indonesia ini.
Antara rentang waktu 1932-1934, Baswedan beberapa kali keluar-masuk dunia redaktur surat kabar. Setelah keluar dari Sin Tit Po karena sudah tidak ada lagi kecocokan paham. Bersama Tjoe Tjie Liang dan Sjahranmual, Baswedan masuk ke harian Soeara Oemoem milik PBI (Persatuan Bangsa Indonesia, yang didirikan dr. Soetoemo) di Bubutan Surabaya. Para anggota yang baru bergabung di Soeara Oemoem tersebut dimanfaatkan untuk menulis mengenai nasionalisme yang dicita-citakan PBI. Cita-cita nasionalisme PBI itu sama dengan jalan pikiran Baswedan dan Liem Koen Hian; yakni kerjasama antar sesama bangsa Indonesia tanpa mempedulikan keturunan dan agama.
Selepas dari Soeara Oemoem, karena masalah kesehatan Baswedan hijrah ke Kudus, kemudian setelah sembuh pergi kembali ke Semarang. Sesampainya di sana, dia terjun kembali dalam dunia jurnalistik di surat kabar Matahari, sebuah harian yang isinya mendukung pergerakan nasionalisme dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Harian Matahari ini juga dipimpin oleh seorang peranakan Tionghoa bernama Kwee Hien Tjiat.
Semenjak muda Baswedan sudah memiliki keyakinan dan pendirian, bahwa tempatnya bukan dimana-mana kecuali di bumi Indonesia ini. Dan dia merasa Indonesia tempat dia dilahirkan; tempat dia hidup, dan Indonesia pula tempatnya berpulang. Oleh sebab itu, semangat hidupnya selalu diarahkan kepada perjuangan nasionalisme Indonesia.
Tanggal 1 Agustus 1934, harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang nasionalisme orang-orang peranakan Arab. Ia mengimbau orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. ''Di mana saya lahir, di situlah tanah airku,'' kata lelaki itu. Abdur Rachman Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat Jawa, bila berbicara. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan blangkon. Karena ulahnya itu, orang-orang Arab─ketika itu terjadi pertikaian antara kelompok Al Irsyad dan Rabitah Alawiyah─berang padanya.
Pada Oktober 1934, setelah pemuatan artikel yang menghebohkan itu, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang. Lalu berdirilah Partai Arab Indonesia (PAI), dan Baswedan diangkat sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya. Padahal, ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu. ''Demi perjuangan,'' katanya. Sebagai ketua PAI, Baswedan pindah ke Jakarta dan menerbitkan majalah Sadar. Majalah Sadar menanamkan pemahaman rasa kebangsaan di kalangan kaum peranakan Arab.
Sadar mampu bertahan hampir satu dekade kemudian ketika Jepang mendirikan pemerintahan militernya di Indonesia. Sama halnya dengan nasib surat kabar-surat kabar lainnya, Sadar menjadi korban pembredelan pemerintah militer Jepang. Selama masa pendudukan Jepang, pada awalnya Baswedan masih aktif menulis di koran Pemandangan sebelum akhirnya berganti nama menjadi Pembangun, yang pada akhirnya terpaksa bergabung dengan Asia Raya. Pada masa itu organisasi yang ada hanyalah Jawa Hookokai, Himpunan Kebaktian Rakyat seluh Jawa, dan Baswedan diangkat oleh Jepang sebagai anggota. Sesaat sebelum mundurnya Jepang di tanah air akibat serangan sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, Baswedan diangkat menjadi anggota Chuoo-Sangi-Kai, semacam dewan penasehat yang anggota-anggotanya diangkat oleh penguasa dan dipilih oleh Syuu-Sangi-Kai, yaitu dewan karesidenan.
Tahun 1945 kemerdekaan Indonesia di kumandangankan, Baswedan mendapat tempat sebagai ketua pusat KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Karena masyarakat telah melihat sumbangsih yang diberikannya ketika masih dalam alam penjajahan. Anggota KNIP ini pada mulanya berjumlah 45 orang, sampai akhirnya anggota KNIP Pusat tadi menjadi Parlemen. Baru setahun Indonesia merdeka, pada tahun 1946, Baswedan ditunjuk sebagai sebagai Menteri Muda Penerangan. Jabatan tersebut masuk dalam jajaran kabinet Syahrir ke-3 dari partai Masyumi. Namun belum sempat melakukan apa-apa, kabinet Syahrir telah bubar.
Sekalipun demikian, Baswedan kembali diangkat sebagai anggota misi diplomatik RI ke Timur Tengah tahun 1947. Misi ini untuk menggalang konsolidasi dan mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara Timur Tengah. Sebagai anggota misi ini di bawah pimpinan Haji Agus Salim, dia berhasil menerobos blokkade pertahanan udara Belanda. Dengan hubungan yang berhasil terjalin, maka negara-negara di Timur Tengah mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Sebelum turun dari kancah perpolitikan di tahun 1955, Baswedan pernah menyandang dua jabatan yaitu sebagai anggota Parlemen dan anggota Konstituante.
Seusai tahun 1950, dia aktif mengemudikan majalah Nusaputra. Dan bersama seorang kawannya, Natsir, aktif mengelola mingguan Hikmah di Jakarta sekaligus juga menjadi kontributor tulisan di pelbagai mass media. Meskipun telah turun dari arena perpolitikan tetapi jiwanya sebagai seorang jurnalistik tidaklah surut. Seterusnya oleh redaksi Mertju Suar di Yogyakarta, dia diminta menjadi penasehat dan pembantu redaksi. Di samping tetap menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamyah Indonesia Wilayah Yogyakarta.
Tidak sempat merampungkan autobiografinya, Abdur Rahman Baswedan meninggal dunia, dalam usia 78 tahun, pada Maret 1986. Di rumahnya di Jalan Taman Yuwono 19, Yogyakarta. (Lilih Prilian Ari Pranowo)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment