Monginsidi ditangkap. Ia memimpin massa pemuda dalam sebuah serangan merebut Makassar yang dikuasai NICA (Nederlands Indies Civil Administration) tanggal 28 Oktober 1945. Padahal umurnya baru setingkat anak SMP waktu itu. SMP Nasional bentukan Dr. Ratulangie dan Lanto Daeng Pasewang. Itulah awal petualangan Wolter memberontak penjajah Belanda.
Seusai dibebaskan tanggal 1 Januari 1946, hati Wolter Monginsidi tetap bergolak. Ia meninggalkan buku dan bangku sekolahan mengikuti arah kehendak hatinya. Benih-benih yang tersemai ditambah cerita-cerita pemberontakan yang pernah dibacanya meyakinkannya untuk (harus!) melakukan perjuangan. Ia telah sampai pada kesimpulan, mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia merupakan prioritas utama. Apalagi, anak seumuran dia pada waktu itu sudah melek politik.
Tak hanya piawai menggunakan bahasa lain selain bahasa ibunya, Monginsidi ciamik juga berorganisasi. Sekurun 17 Juli 1946, ia membentuk organisasi perjuangan bernama LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakjat Indonesia Sulawesi), sebuah badan yang mengkoordinir barisan-barisan bersenjata di Sulawesi Selatan. Dalam organisasi yang memiliki anggota sekurang-kurangnya 26 organisasi bersenjata ini, Wolter menjadi Sekretaris Jenderalnya, usianya masuk 21 tahun. Daerah operasi mereka ada di sekitar Makassar, Gowa, Djaneponto, Malino, Tjamba dan lain-lain. Sejak saat itu, bersama kawan-kawannya, ia mulai bergentayangan memburu NICA. Ia liat dan sukar ditangkap. Terbukti, NICA musti mengeluarkan pengumuman: “bagi siapa pun yang berhasil menangkap Wolter Monginsidi akan diberi hadiah”. Akan tetapi, Wolter tetaplah Wolter, ia seorang militan yang ulung. Ancaman tersebut tak membuatnya gundah apalagi menyerah kalah. Ia membuktikan pada Belanda bisa berbuat semaunya.
Pun sepintar-pintarnya Wolter, ia seperti tupai melompat yang akhirnya terjatuh. Ketika, pada 3 November 1946, Monginsidi memimpin pertempuran di dekat Barombang, ia mendapat luka parah. Kedatangan Kapten Raymond Westerling—seorang militer Belanda yang terkenal dengan operasi pembersihan melawan para gerilyawan sekitar akhir 1946, membuat keadaan bertambah parah. Para gerilyawan berada dalam posisi tidak menguntungkan. Mereka terus-menerus digiring pada suatu keadaan yang menjepit. Hingga akhirnya, pada 28 Februari 1947, Monginsidi bersama beberapa orang kawannya tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Hogepad, Makassar.
Monginsidi adalah putra Mamalayang, Manado. Dia dilahirkan tanggal 14 Februari 1925. Mencecap pendidikan yang jauh dari jalur militer. Tapi cinta betul pada buku-buku bacaan yang mengisahkan pemberontakan-pemberontakan. Macam pemberontakan rakyat Austria melawan Prancis. Apalagi, banyak para pemuda Indonesia waktu itu sadar dengan keadaan dan situasi yang dialami bangsanya. Dia dikenal sebagai orang yang tenang dalam setiap kondisi.
Usai ditangkap pada 28 Februari 1947, Wolter sempat melarikan diri pada 17 Oktober 1948. Akan tetapi, berhasil ditangkap kembali pada 26 Oktober 1928. Penangkapan ini merupakan penangkapan terakhirnya. Karena ketakutan pihak Belanda terhadap dirinya, ia cepat-cepat diadili di bulan Maret 1949. Kemudian divonis bersalah atas keikutsertaannya dalam organisasi LAPRIS sejak 17 Juli 1946 hingga tertangkap 28 Februari 1947. Hukumannya yang dijatuhkan pun tak tanggung-tanggung: MATI. Menghadapi vonis tersebut, Monginsidi tak gentar. Malah berseru lantang. Menyatakan, ia yang bertanggung jawab atas semua kejadian.
Pada 4 September 1949, saat usianya genap 24 tahun, Wolter dieksekusi di Patjinang, beberapa kilometer dari Makassar. Kematiannya membuat kejut banyak pihak. Setahun kemudian ia diganjar Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra II. Makamnya pun dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar. (Lilih Prilian Ari Pranowo)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment