Manusia Kamar Tetap Cinta Cawat dan BH

17 January 2009

print this page
send email
MESKI saya lebih suka menyendiri di kamar yang dingin nan sepi, namun sebagai makhluk sosial, nampaknya saya tak bisa melepaskan diri saya dari kehidupan sosial. Apalagi, bagi saya yang masih demikian muda begini, dunia sekitar yang berwarna-warni terlalu indah untuk dibekap dalam kamar yang hanya dipenuhi warna-warna monochorme. Apalagi saya juga masih boleh bermain-main mata sama 1000 gadis manapun atau sedikit nakal memegang-megangi "susu" gadis muda yang menjulang meninju langit di bar di kota kami. Hal-hal semacam ini demikian sayang untuk dilewatkan.

Bolehlah kita sebagai lelaki menjauh sebentar, tapi "antena" kita yang satu itu, apakah sabar menanti? Ah, saya tak jamin pasti. Toh, saya lelaki, jadi tahu apa yang ada di benak lelaki. Hahaha... Cawat dan BH saja pikirannya.

Tak peduli dari kegelapan atau cahaya manapun datangnya. Selama ia manusia berjenis kelamin lelaki, pastilah begitu. Terkecuali ia impoten. Saya kenal lelaki, dia pernah menjadi kakak tingkat saya waktu kuliah. Sejak kuliah dia sudah aktif dalam dunia kepenulisan dan baca-membaca. Namanya, terus-terang, tak berani saya sebut-sebut. Terlalu lancang. Dia terlalu agung untuk didekati. Pada akhirnya, saya pernah menjadi rekan sekerjanya, mesti posisi saya dan dia tidak sama. Karena proses penyeretan (KKN)-nya saya menjadi anak buah bosnya, sangat jauh. Gampangnya begini, dia direkrut langsung oleh bos. Sementara saya diajak teman saya yang direkrut oleh rekannya kakak tingkat saya yang namanya tak berani saya sebut-sebut baru kemudian bos.

Kantor kami waktu itu ada di Jakarta Pusat. Carilah sendiri kalau kau sempat mampir-mampir di seputaran monas. Jika kau beruntung, mau bertanya-tanya pada orang sekitar atau pohon yang bergoyang, kau akan ditunjukkan di mana letak kantorku itu. Akan kusarankan kepada kau jangan mencarinya, sebab meski dibilang kantor, kehidupan di dalamnya tidak sehat. Aku sendiri yang mengalaminya. Bangun-Ngantor-Tidur-Nonton Tipi-Tidur-Bangun-dst, itu jadi upacara rutin. Di sana kau bakal serasa mati! Tak pernah tahu kehidupan luar.

Hal yang harus kuakui dari teman yang namanya tak berani kusebut-sebut ini, dia seorang yang tangguh. Penulis esei yang baik sekaligus pendebat handal. Dulu aku tak pernah tahu bagaimana dia hidup. Setelah menjadi rekan kantornya (dalam hubungan yang aneh) itu aku baru tahu bagaimana kehidupannya. Seperti tadi sudah kubilang (upacara rutinnya) dia hidup seperti itu. Seperti kelelawar yang hidup di malam hari, tidur sesiang mungkin, tubuh kurusnya dibiarkannya tak pernah merasakan sejuk air mandi. Alhasil, kakak tingkat saya yang tidak boleh saya sebut-sebut namanya ini jadi manusia bau, baik badannya maupun bajunya. Bagaimana tidak? Dia takkan pernah mencuci baju sebelum seminggu (atau lebih) dipakainya dalam keadaan tak pernah lepas dari badannya. Kaget? Aku sudah terbiasa dengan itu, meski tetap menutup rapat-rapat hidungku, ketika duduk di dekatnya.

Entah gara-gara insomnianya atau kesukaannya tidak mandi itu yang membuahkan sarang penyakit di dalam tubuhnya, aku tak tahu. Yang jelas begitu. Dia juga jarang keluar. Sekalinya keluar, itupun tengah malam dan ke pelabuhan pula. Suatu hari, sebelum pulang ke daerah asalnya Cirebon, aku pernah diajaknya ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Kaget aku ketika dia berbicara kepadaku, padahal sebelumnya tak pernah berbicara apapun kepadaku, selain hal-hal yang penting saja. Tapi dengan tegas kutolak ajakannya. Siapa yang mau bersanding dengan orang bau? Tak ada kan? Walaupun berangkatnya naik taksi dan dibayarin dia.

Meski suka menyendiri dan tak pernah menjalin hubungan yang akrab dengan orang alias membangun dinding tinggi untuk dirinya sendiri, tak sekalipun dia pernah mengganggu-ganggu aku. Dan itu yang membuat aku sedikit kagum dengan kemampuannya. Yeah dibalik kekurangan masih tersimpan benih kelebihan kan? Manfaatkan itu untuk kau sendiri.

Lalu bagaimana dia, kakak tingkat saya yang namanya tak bisa kusebutkan itu, melepaskan luapan cairan di tubuhnya? Usut diusut, kuketahui tempatnya membuang hajat, ada di Penjaringan, Jakarta Utara. Sial, di tempat ini pula aku pernah diajak ngamar seorang pelacur tua yang nafasnya sudah terburu dikejar kematian (Ups, ketahuan aku pernah dolan ke tempat ini... xixixi). yk, 160109

(Lilih Prilian Ari Pranowo)

0 komentar:

Post a Comment