Bagi masyarakat Indonesia, singkong, atau yang punya nama lain ketela pohon, sudah tak asing lagi. Pelbagai macam makanan bisa dibikin dari bahan dasar ini. Misal getuk, tape singkong, combro, misro, dan lain sebagainya.
Namun singkong yang ditemukan dan dikembangkan oleh Abdul Jamil Ridho dan Niti Soedigdo memang lain daripada yang lain. Sebab singkong temuannya lebih besar dan lebih panjang dari singkong normal. Percaya tak percaya, syahdan, penemuan singkong unik ini sedikit berbumbu klenik—seperti menemukan benda-benda bertuah yang kerap dijadikan ajimat (keris, cincin, akik dan sebagainya).
Tahun 1996-an, Abdul Jamil Ridho—pengelola Pondok Pesantren Darul Hidayah di Kota Tulang Bawang, tengah melakukan perenungan dan dzikir panjang. Dia melakukannya di tengah hutan Panarangan Jaya, Lampung Utara. Kala sedang khusyuk-khusyuknya berdzikir, Ridho secara mendadak mendapatkan “penglihatan” ke sebatang tanaman. Selanjutnya ia mendekati. Sekilas tanaman tersebut sama dengan tanaman singkong miliknya. Meski, apabila dicermati lebih dekat dan seksama, ada sedikit perbedaan. Rasa penasaranlah yang membuatnya mencabut tanaman tersebut. Dan ternyata akarnya juga mirip seperti akar singkong, hanya saja diameternya lebih kecil. Dan panjangnya mencapai satu meter lebih per batang jalar dalam rangkaian umbi.
Pengembang sekaligus perekayasa singkong “ajaib” ini dipasrahi kepada Niti Soedigdo—orang kepercayaan Ridho. Caranya tanaman tersebut dikawinkan dengan singkong karet untuk beroleh pembesaran pada diameter akarnya. Singkong karet adalah singkong yang tak bisa dimakan sebab singkong ini mengandung racun yang berbahaya bagi manusia.
Hasil persilangan pertama dan kedua, singkong ini belum mencapai bentuk maksimal yang dikehendaki. Barulah ketika persilangan dilakukan yang ketiga kalinya, bentuk maksimal didapatkan. Pengembangan demi pengembangan pun dilakukan.
Varietas singkong raksasa ini menurut kedua orang tersebut memiliki keunggulan. Ongkos produksinya tidak memakan biaya banyak alias lebih irit. Bayangkan, apabila singkong biasa memakan ongkos produksi mencapai 4 juta rupiah per hektar, maka singkong raksasa ini cuma memakan ongkos produksi 1 juta rupiah saja untuk satu hektarnya. Hasil yang didapat? Dengan waktu tanam berkisar antara 8 hingga 11 bulan, singkong raksasa bisa mencapai 150 ton per hektar, sementara singkong biasa hanya mencapai 20 ton per hektar. Jelas cukup menggiurkan dari sisi ekonomis. Bibitnya sendiri dijual dengan harga 150 rupiah per batangnya dengan panjang antara 15-20 sentimeter. Dan bibit ini dijual di Gabungan Koperasi Pertanian Serba Guna Lampung.
Penemuan ini barangkali bisa membuka mata kita, bahwa di Indonesia banyak beragam jenis makanan yang bisa dikonsumsi masyarakatnya. Sehingga masyarakat Indonesia tak melulu bergantung pada beras dan bisa bebas dari bahaya kelaparan. (Lilih Prilian Ari Pranowo)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
dah lama g makan singkong
ReplyDeleteseharusnya dibudayakan makanan pengganti beras seperti dari singkong, jagung dll untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras...
ReplyDeleteada yang tau alamat lengkapnya "Gabungan Koperasi Pertanian Lampung" ??
ReplyDelete