B/A

17 March 2010

print this page
send email
Biarkan saya bercerita tentang sebuah daerah nan subur nun jauh di sana. Kita sebut saja daerah itu B.

Kota B. Adalah megapolitan yang maha indah. Tepat di kerajaan bernama Bumi. Banyak sekali daya tarik kota ini. Sebagian penduduknya merupakan bagian dari hasrat yang terpendam sewaktu berada di kota--sebut saja kota A. Namun, patut untuk dicatat bahwa kota B, adalah kota yang terdiri dari
tembok-tembok batu yang menjulang tinggi sekali, jalan-jalan raya yang sudah diaspal sampai ke kampungnya, dan pendapatan per kapita yang tinggi--melebihi ongkos yang bisa dibayangkan oleh manusia. Namun, patut untuk dicatat bahwa di balik gemerlang cahaya yang ada di kota B, ada pula sisi gelap yang tak ingin didengar oleh sebagian penduduknya. Meskipun mencapai taraf kemajuan yang sangat berarti melebihi kota-kota lainnya, kota A menyimpan gang-gang sempit nan gelap, anak-anak yang bermain di gang-gang, sungai yang meluap tiap tahunnya, asap-asap yang mengudara setiap harinya, debu, cacian, makian, dan penderitaan yang entah tak pernah ingin didengar. Tak ada belas kasih di kota yang menamakan dirinya B.

Itu pengetahuanku tentang kota B. Meskipun pernah beredar selama beberapa tahun lamanya aku di sana. Tapi, kepindahanku dulu bukan tanpa alasan. Mungkin, ada sejuta alasan rasional yang diciptakan dan diputar oleh Sang Ilahi terhadapku. Dan sekarang aku tinggal di kota A, tentu saja penglihatanku akan kota B menjadi bias tak tentu.

Tapi, sebelum kulanjutkan, ada baiknya kalau kuceritakan kota A.

Kota A, bukanlah kota impian. Sebagian penduduknya terjerat rasa malas yang teramat sangat. Menukar kehidupan sukses mereka dengan segenggam mimpi untuk berleha-leha saja. Karena itu, di kota A terlalu banyak seniman, orang susah--jika dihitung dari sejumput emas yang bisa kita tuai dari perasan keringat kita--, orang santai--yang memandang hidup dari sudut 'untuk apa terburu-buru sementara jatah hidup berhasil adalah seperti ini, seperti keinginan mereka: sederhana--, sementara yang tidak bisa menerima kehidupan di kota ini pergi entah ke kota B--kota sejuta mimpi. Tapi, beberapa orang yang tetap bertahan di kota ini, aku yang melihatnya, cukup sukses juga. Setidaknya mereka telah membeli mimpi mereka dengan kenyataan kebahagiaan yang telah mereka jumput dari sumur kehidupan mereka sendiri. Rumah-rumah yang nyaman, meskipun terbuat dari rumput jerami.

Kota A. Mungkin sebuah kota yang mungkin dianggap sebagian penduduk kota B, begitu kampungan. Ya... ya... mungkin itu benar. Tapi, kau kan belum pernah tinggal di kota ini, sementara aku sudah pernah. Jadi pandanganmu terhadap kota ini pun menjadi bias dan rancu.

B/A sama-sama bias, sama-sama rancu dalam memandang. Tetap harus ada yang mengalah.

Ini sepenggal cerita yang ingin kuceritakan. Tapi bukan untuk mengiming-imingi. Yang ingin kukatakan, aku masih berani mempertaruhkan sepenggal hidupku untuk sekadar mencicip madu itu. Tapi, jika permintaan dari pemberi naungan memintaku untuk tetap berada di jalur itu, apakah harus kupaksakan rel kereta lain?

0 komentar:

Post a Comment