Berita-berita di media setiap hari selalu menggambarkan kondisi negeri ini yang penuh kekerasan. Tawuran, terorisme, aksi brutal kelompok masyarakat yang mudah emosi karena perbedaan pandangan, mafia busuk di gedung DPR atau instansi pemerintahan, dan banyak lagi.
Pesimis serta apatisme dengan mudah tumbuh dalam jiwa kita. Mengutip keluh-kesah novelis Djenar MA, yang pernah mengungkap kepedihannya melihat Indonesia, "Apa yang bisa diharapkan dari negeri ini? Membuat kita apatis." Memang miris, walau demikian kenyataannya.
Pesimis serta apatisme dengan mudah tumbuh dalam jiwa kita. Mengutip keluh-kesah novelis Djenar MA, yang pernah mengungkap kepedihannya melihat Indonesia, "Apa yang bisa diharapkan dari negeri ini? Membuat kita apatis." Memang miris, walau demikian kenyataannya.
foto.detik.com
Apakah ini ciri negara yang sedang membangun, berkembang dalam tingkatan industri modern? Meminjam definisi Herbert Marcuse, masyarakat paska industri terlalu satu dimensi. Membuat negara melupakan cara bersenang-senang dengan jujur dan apa adanya.
Menikmati kesenangan bukan berarti larut dalam pesta-pora yang ditularkan semangat hedon. Melainkan menggali kembali semangat kearifan lokal yang diwarisi pada setiap generasi terdahulu untuk bersyukur, memanfaatkan kekayaan bumi pertiwi, serta menjaga dan membangun dalam paradigma positif, penuh harapan memandang masa depan.
Sebenarnya saat kondisi makro negara ini menuju titik negatif, masih banyak pejuang-pejuang "sunyi" berserak di setiap sudut Nusantara berupaya menularkan semangat kearifan lokal tersebut sehingga kita masih bisa berharap, bahwa Indonesia masa depan akan bangkit di tangan mereka, generasi penerus.
Pada kesempatan ini, mari kita belajar dari Tanoker, sebuah komunitas dari desa kecil yang diam-diam akan menjadi butiran magma, menjadi kekuatan baru dalam membangun negeri.
Kegiatan Tanoker
Tanoker diambil dari bahasa Madura yang berarti kepompong. Kelompok ini ada di Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sebuah kecamatan dengan penduduk sekitar 56.000 jiwa. Sebagian sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh tani, ada juga yang menjadi pedagang dan buruh perusahaan.
Menikmati kesenangan bukan berarti larut dalam pesta-pora yang ditularkan semangat hedon. Melainkan menggali kembali semangat kearifan lokal yang diwarisi pada setiap generasi terdahulu untuk bersyukur, memanfaatkan kekayaan bumi pertiwi, serta menjaga dan membangun dalam paradigma positif, penuh harapan memandang masa depan.
Sebenarnya saat kondisi makro negara ini menuju titik negatif, masih banyak pejuang-pejuang "sunyi" berserak di setiap sudut Nusantara berupaya menularkan semangat kearifan lokal tersebut sehingga kita masih bisa berharap, bahwa Indonesia masa depan akan bangkit di tangan mereka, generasi penerus.
Pada kesempatan ini, mari kita belajar dari Tanoker, sebuah komunitas dari desa kecil yang diam-diam akan menjadi butiran magma, menjadi kekuatan baru dalam membangun negeri.
Kegiatan Tanoker
Tanoker diambil dari bahasa Madura yang berarti kepompong. Kelompok ini ada di Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sebuah kecamatan dengan penduduk sekitar 56.000 jiwa. Sebagian sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh tani, ada juga yang menjadi pedagang dan buruh perusahaan.
sman10malang.com
Selain karena lokasinya yang cukup terpencil, desa itu dikenal sebagai gudang masalah. Kemiskinan menjadikan desa itu seperti dikutuk. Mulai dari tingkat buta huruf yang tinggi, tingkat pengangguran kaum muda yang tinggi, dan sarang preman. Dalam banyak hal desa itu seperti gudang gali yang seharusnya dihapus dari peradaban Jember yang beranjak maju.
Belum lagi stigma yang melekat pada penduduk Ledokombo yang sebagian besar Madura. Bahwa mereka malas, egois, susah diajak maju, sok tau, emosional dan sebagainya. Kerap kali suratkabar di Jember memberitakan kasus kekerasan yang diawali oleh salah paham.
Namun kini ada secercah harapan di desa 'penuh masalah' itu, berkat upaya Tanoker yang dibina oleh Farha Ciciek dan suami Suporahardjo. Mereka menyediakan tanah milik mereka untuk pusat kegiatan Tanoker.
Cita-cita Suporahardjo dan Farha Ciciek sederhana. Mereka ingin membangun kebanggaan para warga desa Ledokombo atas desa dimana mereka tinggal. Khususnya untuk anak-anak, yang dalam bahasa mereka "generasi penerus bangsa, harapan dunia dimanapun mereka berada." Anak-anak bertanggung jawab pada masa depan negara. Dan kita, para orang dewasa, berhutang pengetahuan untuk dibagi pada mereka.
Lewat Tanoker Ledokomo masyarakat diajak untuk berproses dengan kesungguhan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Melalui berbagai kegiatan kreatif yang dimotori anak-anak. Di kawasan berbukit ini sangat terasa bahwa masyarakat memiliki potensi dan hasrat untuk berubah.
Dengan semboyan "bersahabat, bergembira, belajar, berkarya". Tanoker menginvasi pikiran putra-putri buruh migran (TKW/TKI), buruh tani, tukang ojek, supir, pedagang kecil, guru, pekerja rumahtangga dan pegawai negeri/swasta. Untuk berani bermimpi. Berani berkarya. Dan berani untuk melakukan perubahan sederhana dengan cara bermain.
Berbekal pemahaman potensi desa yang membiliki banyak tumbuhan menjulang seperti kayu sengon dan bambu. Tanoker Ledokombo lantas memanfaatkan sumber daya yang ada untuk bermain. Berbagai jenis permainan tradisional dihidupkan kembali agar anak-anak Ledokombo tak lupa identitas asli mereka.
Misalnya satu yang paling mengemuka yakni permainan egrang. "Memulai perubahan dari permainan egrang? Ide gila apa ini," kata sebagian besar warga Ledokombo. Namun para pendiri dan pegiat Tanoker tak mau jatuh pada sebuah pikiran picik. Mereka tetap mengajarkan dan menyerbar luaskan permainan egrang.
Belum lagi stigma yang melekat pada penduduk Ledokombo yang sebagian besar Madura. Bahwa mereka malas, egois, susah diajak maju, sok tau, emosional dan sebagainya. Kerap kali suratkabar di Jember memberitakan kasus kekerasan yang diawali oleh salah paham.
Namun kini ada secercah harapan di desa 'penuh masalah' itu, berkat upaya Tanoker yang dibina oleh Farha Ciciek dan suami Suporahardjo. Mereka menyediakan tanah milik mereka untuk pusat kegiatan Tanoker.
Cita-cita Suporahardjo dan Farha Ciciek sederhana. Mereka ingin membangun kebanggaan para warga desa Ledokombo atas desa dimana mereka tinggal. Khususnya untuk anak-anak, yang dalam bahasa mereka "generasi penerus bangsa, harapan dunia dimanapun mereka berada." Anak-anak bertanggung jawab pada masa depan negara. Dan kita, para orang dewasa, berhutang pengetahuan untuk dibagi pada mereka.
Lewat Tanoker Ledokomo masyarakat diajak untuk berproses dengan kesungguhan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Melalui berbagai kegiatan kreatif yang dimotori anak-anak. Di kawasan berbukit ini sangat terasa bahwa masyarakat memiliki potensi dan hasrat untuk berubah.
Dengan semboyan "bersahabat, bergembira, belajar, berkarya". Tanoker menginvasi pikiran putra-putri buruh migran (TKW/TKI), buruh tani, tukang ojek, supir, pedagang kecil, guru, pekerja rumahtangga dan pegawai negeri/swasta. Untuk berani bermimpi. Berani berkarya. Dan berani untuk melakukan perubahan sederhana dengan cara bermain.
Berbekal pemahaman potensi desa yang membiliki banyak tumbuhan menjulang seperti kayu sengon dan bambu. Tanoker Ledokombo lantas memanfaatkan sumber daya yang ada untuk bermain. Berbagai jenis permainan tradisional dihidupkan kembali agar anak-anak Ledokombo tak lupa identitas asli mereka.
Misalnya satu yang paling mengemuka yakni permainan egrang. "Memulai perubahan dari permainan egrang? Ide gila apa ini," kata sebagian besar warga Ledokombo. Namun para pendiri dan pegiat Tanoker tak mau jatuh pada sebuah pikiran picik. Mereka tetap mengajarkan dan menyerbar luaskan permainan egrang.
Egrang
Seperti kutipan Farha di sebuah acara televisi nasional, egrang memiliki filosofi mendalam, bukan sekadar permainan anak-anak. Dalam egrang kita diajarkan tentang keseimbangan. Demikian pula dalam kehidupan, seimbang antara beribadah dan aktivitas duniawi, keseimbangan antara hubungan pada sang pencipta dan manusia (habluminallah dan habluminannas), bahkan keseimbangan peran seorang suami yang juga ayah, seorang istri yang juga ibu, serta peran anak-anak yang harus seimbang antara hak dan kewajiban.
Seperti kutipan Farha di sebuah acara televisi nasional, egrang memiliki filosofi mendalam, bukan sekadar permainan anak-anak. Dalam egrang kita diajarkan tentang keseimbangan. Demikian pula dalam kehidupan, seimbang antara beribadah dan aktivitas duniawi, keseimbangan antara hubungan pada sang pencipta dan manusia (habluminallah dan habluminannas), bahkan keseimbangan peran seorang suami yang juga ayah, seorang istri yang juga ibu, serta peran anak-anak yang harus seimbang antara hak dan kewajiban.
permainan-tradisonal.blogspot.com
Sebuah kayu yang menjadi alat utama permainan egrang tak bisa dikuasai dalam sesaat. Butuh mentor untuk kemudian mengajarkan, memandu dan mengarahkan gerak diri. Egrang membuat pemainnya untuk selalu hati-hati dan bersikap awas. Anak-anak di Tanoker melakukan itu semua. Interaksi personal yang dilakukan atas rasa cinta terhadap sesama.
Ternyata anak-anak di komunitas Tenoker memaknai permainan egrang dengan positif. Anak-anak itu belajar sendiri mengenai arti penting kerjasama. Sikap patriot saat mengakui kekalahan. Kebesaran hati untuk mau belajar dari orang lain.
Melalui egrang tadi anak-anak ini meredam ego diri untuk tak kehilangan kendali. Tertatih tatih memantapkan diri diujung kayu dan mulai melangkah diatas kayu egrang. Belajar untuk dapat berdiri dan fokus pada apa yang mereka lakukan. Semua dilakukan hati-hati. Karena saat mereka kehilangan kendali diri. Saat itulah mereka akan jatuh dari egrang.
Sedikit demi sedikit muncul kebanggaan atas desa Ledokombo. Anak-anak tidak lagi berkeliaran dijalanan berkegiatan tak jelas. Orang tua yang merutuki nasib miskin terpacu untuk melakukan perubahan positif. Berbagai unit kerja lahir dari semangat Tanoker. Kepompong yang lahir dari ulat buruk rupa menjadi kupu-kupu indah.
Nah, kita pun bisa terpacu dengan upaya Farha Ciciek. Membangun bangsa ini banyak cara, yang penting semangat, komitmen, berjuang dalam tingkat apa pun. Sekecil apa pun, walau mungkin hanya dalam lingkungan RT, mari kita bangkit dan ikut membangun negeri.
Setitik embun menjadi sumber kehidupan dunia renik. Ketika semangat itu menular maka akan menciptakan jutaan embun yang memberi hayat pada kehidupan bumi Indonesia.
Inspirasi: pwagindonesia dan terumbukarya
Ternyata anak-anak di komunitas Tenoker memaknai permainan egrang dengan positif. Anak-anak itu belajar sendiri mengenai arti penting kerjasama. Sikap patriot saat mengakui kekalahan. Kebesaran hati untuk mau belajar dari orang lain.
Melalui egrang tadi anak-anak ini meredam ego diri untuk tak kehilangan kendali. Tertatih tatih memantapkan diri diujung kayu dan mulai melangkah diatas kayu egrang. Belajar untuk dapat berdiri dan fokus pada apa yang mereka lakukan. Semua dilakukan hati-hati. Karena saat mereka kehilangan kendali diri. Saat itulah mereka akan jatuh dari egrang.
Sedikit demi sedikit muncul kebanggaan atas desa Ledokombo. Anak-anak tidak lagi berkeliaran dijalanan berkegiatan tak jelas. Orang tua yang merutuki nasib miskin terpacu untuk melakukan perubahan positif. Berbagai unit kerja lahir dari semangat Tanoker. Kepompong yang lahir dari ulat buruk rupa menjadi kupu-kupu indah.
Nah, kita pun bisa terpacu dengan upaya Farha Ciciek. Membangun bangsa ini banyak cara, yang penting semangat, komitmen, berjuang dalam tingkat apa pun. Sekecil apa pun, walau mungkin hanya dalam lingkungan RT, mari kita bangkit dan ikut membangun negeri.
Setitik embun menjadi sumber kehidupan dunia renik. Ketika semangat itu menular maka akan menciptakan jutaan embun yang memberi hayat pada kehidupan bumi Indonesia.
Inspirasi: pwagindonesia dan terumbukarya
0 komentar:
Post a Comment