Part I
#1
Aku berjalan di Metropolitan Mall tanpa tujuan. Entah, ada apa dengan otakku ini. Tiba-tiba saja aku teringat dengan mantan pacarku, Jono. Di tempat inilah, kami berdua sering menghabiskan waktu bersama. Nonton, makan, minum, atau hanya sekadar nongkrong tanpa punya tujuan jelas mau apa –apalagi, kalau sedang berkantung cekak. Tiga tahun. Terlalu banyak kenangan manis untuk dilupakan. Kini sudah satu tahun kami putus kontak. Apa kabarnya ya sekarang?
Tiba-tiba langkahku terhenti di depan toko buku Gramedia. Jono suka mencari buku baru di situ. Kalau sudah ada di sini, hmm… bak anak kecil berada di toko mainan. Semua dilihatnya. Jika ada buku yang disukanya pasti akan langsung dibeli. Tidak peduli berapa harganya. Ah, tahu betul aku sifatnya itu.
Aku memutuskan tidak jadi masuk ke sana. Kakiku enggan untuk dibelokkan ke sana. Aku hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah. Hingga sampailah aku di depan KFC. Gambaran-gambaran kenangan saat kami berdua makan di sana berputar lagi, flashback. Dan itu membuatku bersedih. Tidak terasa mataku berkaca-kaca. Aku segera berjalan menuju kamar mandi untuk menyeka air mataku meleleh lebih jauh. Di cermin, aku melihat pantulan diriku. Aku merutuki diri karena tidak bisa tepiskan ingatanku akan dirinya.
Sejak Jono meneruskan kuliahnya di Australia, kami hanya berhubungan melalui email, facebook, twitter, dan telepon saja. Tidak bisa yang lain. Long Distance Relationship membuatku merasa berpacaran dengan mesin-mesin itu, bukan dengan manusia. Walau ada yang berkata, toh sama saja yang mengaktifkan mesin-mesin itu adalah manusia. Tapi, bagiku itu tetap berbeda. Sejak setahun lalu aku merasa hubungan ini “digantung”. Jono menghilang di Australia tanpa jejak yang bisa kulacak. Setiap email yang kukirimkan, yang kuharap ada balasan, tidak pernah mendapat jawabannya. Apakah ini artinya Jono sudah melupakanku? Apakah ini berarti ada cewek lain di sana, yang lebih bisa menggantikan peranku? Arrrggh… Entahlah, aku tidak tahu.
#2
Di rumah, aku berusaha menepiskan segala bayang-bayang tentang Jono. Laki-laki tidak bertanggung jawab itu harus lenyap dari pikiranku. Aku berbaring di kasur empuk milikku. Saat itulah, Kak Syifa membuka pintu tanpa permisi dan langsung masuk begitu saja ke kamarku.
“Duh, yang habis jalan-jalan. Lega nggak nih kram otaknya?” Kak Syifa berkata sambil menghempaskan diri di kasurku.
Kedatangan Kak Syifa membuat bayanganku tentang Jono, buyar seketika. Pikiranku kembali kepada kenyataan. Baguslah. Aku tersenyum. Kak Syifa ini kakak tingkatku di kampus sekaligus teman satu kosku. Dia salah satu sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Banyak masalah yang sering kucurhatkan padanya. Dan dia pendengar yang baik.
“Lega Kakakku sayang! Hehehe…” Kami tertawa bersama.
Kak Syifa senyum-senyum sendiri. Aku yang tengah berbaring memandangnya dengan keheranan.
“Kenapa kamu, Kak?” tanyaku bingung.
“Kalau kuceritakan hal ini, yakin kamu bakal lega? Pasti kamu akan terkejut deh.” Kalimatnya mengandung kata-kata ambigu yang membuatku menerka-nerka maksudnya.
“Maksudmu, Kak?” Aku mengernyitkan dahi.
“Ayolah tebak!” senyumannya makin memanjang. Bertambah panjang satu mili lagi jadi Joker deh ini anak.
“Apaan sih? Pakai main tebak-tebakan segala? Lagi malas mikir ah!” kataku, terdengar lebih mirip rengekan ingin tahu. Kak Syifa masih saja senyum-senyum. Aku membalikkan badan, mencoba memejamkan mata. Siapa butuh sebuah informasi kalau harus pakai tebak-tebakan segala?!
“Tadi, ada seorang pria menelepon. Katanya, dia mencari kamu.”
“Siapa?” tanyaku tanpa membalikkan badan.
“Cowok yang membuat hatimu cenat-cenut, galau. Hihihi…”
Aku membalikkan badanku ke arah Kak Syifa lagi dan bertanya. “Benarkah?”
Kak Syifa mengangguk-angguk dan tersenyum. Hatiku membuncah kegirangan. Jika tidak ada Kak Syifa sekarang aku akan meloncat-loncat di atas kasur.
“Kapan dia telepon Kak? Apa dia sekarang ada di Indonesia? Apa dia mau menjumpaiku?” tanyaku langsung bertubi-tubi.
“Banyak sekali pertanyaanmu ini?! Bukankah kamu tadi bilang lagi malas mikir. Jadi, sepertinya aku tidak jadi cerita aja deh. Kamu kan lagi pusyiiinggg…” Kak Syifa segera bangun dan meninggalkanku. Tidak mau ketinggalan aku segera berlari menyusul Kak Syifa. Kami berkejaran bagai anak kecil.
#3
Pagi-pagi betul aku bangun. Mandi. Dandan. Dan mencari baju beserta padanannya yang membuatku tampak cantik. Rasanya tidak sabar untuk segera bertemu cowokku yang sudah tiga tahun tak bertemu.
Bagaimana sekarang wajahnya ya?
Aku tersenyum, dihinggapi rasa penasaran yang sangat. Setelah selesai berdandan, aku keluar dari kamar. Kak Syifa yang kebetulan ada di depan kamarnya segera meledekku.
“Cie, yang mau nge-date sama Jono nih. Cantik betul romannya?”
“Ah, Kak Syifa nih. Aku kelihatan jelek ya?” tanyaku meminta opini mengenai penampilanku dari orang lain.
“Nggak ah. Kamu tuh selalu cantik, Lin, pakai baju apa aja,” sahut Kak Syifa menilai penampilanku. Aku tidak tahu, apakah penilaiannya berdasarkan sudut pandang objektif atau tidak. Seandainya tidak pun, baguslah dia telah membohongiku. Karena, bohongnya telah membuatku bahagia.
“Ya udah, aku berangkat dulu ya, Kak.”
Kak Syifa mengacungkan jempolnya kepadaku. “Hati-hati…”
Aku mengeluarkan motor Honda Scoopy-ku.
***
Bersambung ke Menanti Kekasih di Perantauan [Part II]
#1
Aku berjalan di Metropolitan Mall tanpa tujuan. Entah, ada apa dengan otakku ini. Tiba-tiba saja aku teringat dengan mantan pacarku, Jono. Di tempat inilah, kami berdua sering menghabiskan waktu bersama. Nonton, makan, minum, atau hanya sekadar nongkrong tanpa punya tujuan jelas mau apa –apalagi, kalau sedang berkantung cekak. Tiga tahun. Terlalu banyak kenangan manis untuk dilupakan. Kini sudah satu tahun kami putus kontak. Apa kabarnya ya sekarang?
Tiba-tiba langkahku terhenti di depan toko buku Gramedia. Jono suka mencari buku baru di situ. Kalau sudah ada di sini, hmm… bak anak kecil berada di toko mainan. Semua dilihatnya. Jika ada buku yang disukanya pasti akan langsung dibeli. Tidak peduli berapa harganya. Ah, tahu betul aku sifatnya itu.
Aku memutuskan tidak jadi masuk ke sana. Kakiku enggan untuk dibelokkan ke sana. Aku hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah. Hingga sampailah aku di depan KFC. Gambaran-gambaran kenangan saat kami berdua makan di sana berputar lagi, flashback. Dan itu membuatku bersedih. Tidak terasa mataku berkaca-kaca. Aku segera berjalan menuju kamar mandi untuk menyeka air mataku meleleh lebih jauh. Di cermin, aku melihat pantulan diriku. Aku merutuki diri karena tidak bisa tepiskan ingatanku akan dirinya.
Sejak Jono meneruskan kuliahnya di Australia, kami hanya berhubungan melalui email, facebook, twitter, dan telepon saja. Tidak bisa yang lain. Long Distance Relationship membuatku merasa berpacaran dengan mesin-mesin itu, bukan dengan manusia. Walau ada yang berkata, toh sama saja yang mengaktifkan mesin-mesin itu adalah manusia. Tapi, bagiku itu tetap berbeda. Sejak setahun lalu aku merasa hubungan ini “digantung”. Jono menghilang di Australia tanpa jejak yang bisa kulacak. Setiap email yang kukirimkan, yang kuharap ada balasan, tidak pernah mendapat jawabannya. Apakah ini artinya Jono sudah melupakanku? Apakah ini berarti ada cewek lain di sana, yang lebih bisa menggantikan peranku? Arrrggh… Entahlah, aku tidak tahu.
#2
Di rumah, aku berusaha menepiskan segala bayang-bayang tentang Jono. Laki-laki tidak bertanggung jawab itu harus lenyap dari pikiranku. Aku berbaring di kasur empuk milikku. Saat itulah, Kak Syifa membuka pintu tanpa permisi dan langsung masuk begitu saja ke kamarku.
“Duh, yang habis jalan-jalan. Lega nggak nih kram otaknya?” Kak Syifa berkata sambil menghempaskan diri di kasurku.
Kedatangan Kak Syifa membuat bayanganku tentang Jono, buyar seketika. Pikiranku kembali kepada kenyataan. Baguslah. Aku tersenyum. Kak Syifa ini kakak tingkatku di kampus sekaligus teman satu kosku. Dia salah satu sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Banyak masalah yang sering kucurhatkan padanya. Dan dia pendengar yang baik.
“Lega Kakakku sayang! Hehehe…” Kami tertawa bersama.
Kak Syifa senyum-senyum sendiri. Aku yang tengah berbaring memandangnya dengan keheranan.
“Kenapa kamu, Kak?” tanyaku bingung.
“Kalau kuceritakan hal ini, yakin kamu bakal lega? Pasti kamu akan terkejut deh.” Kalimatnya mengandung kata-kata ambigu yang membuatku menerka-nerka maksudnya.
“Maksudmu, Kak?” Aku mengernyitkan dahi.
“Ayolah tebak!” senyumannya makin memanjang. Bertambah panjang satu mili lagi jadi Joker deh ini anak.
“Apaan sih? Pakai main tebak-tebakan segala? Lagi malas mikir ah!” kataku, terdengar lebih mirip rengekan ingin tahu. Kak Syifa masih saja senyum-senyum. Aku membalikkan badan, mencoba memejamkan mata. Siapa butuh sebuah informasi kalau harus pakai tebak-tebakan segala?!
“Tadi, ada seorang pria menelepon. Katanya, dia mencari kamu.”
“Siapa?” tanyaku tanpa membalikkan badan.
“Cowok yang membuat hatimu cenat-cenut, galau. Hihihi…”
Aku membalikkan badanku ke arah Kak Syifa lagi dan bertanya. “Benarkah?”
Kak Syifa mengangguk-angguk dan tersenyum. Hatiku membuncah kegirangan. Jika tidak ada Kak Syifa sekarang aku akan meloncat-loncat di atas kasur.
“Kapan dia telepon Kak? Apa dia sekarang ada di Indonesia? Apa dia mau menjumpaiku?” tanyaku langsung bertubi-tubi.
“Banyak sekali pertanyaanmu ini?! Bukankah kamu tadi bilang lagi malas mikir. Jadi, sepertinya aku tidak jadi cerita aja deh. Kamu kan lagi pusyiiinggg…” Kak Syifa segera bangun dan meninggalkanku. Tidak mau ketinggalan aku segera berlari menyusul Kak Syifa. Kami berkejaran bagai anak kecil.
#3
Pagi-pagi betul aku bangun. Mandi. Dandan. Dan mencari baju beserta padanannya yang membuatku tampak cantik. Rasanya tidak sabar untuk segera bertemu cowokku yang sudah tiga tahun tak bertemu.
Bagaimana sekarang wajahnya ya?
Aku tersenyum, dihinggapi rasa penasaran yang sangat. Setelah selesai berdandan, aku keluar dari kamar. Kak Syifa yang kebetulan ada di depan kamarnya segera meledekku.
“Cie, yang mau nge-date sama Jono nih. Cantik betul romannya?”
“Ah, Kak Syifa nih. Aku kelihatan jelek ya?” tanyaku meminta opini mengenai penampilanku dari orang lain.
“Nggak ah. Kamu tuh selalu cantik, Lin, pakai baju apa aja,” sahut Kak Syifa menilai penampilanku. Aku tidak tahu, apakah penilaiannya berdasarkan sudut pandang objektif atau tidak. Seandainya tidak pun, baguslah dia telah membohongiku. Karena, bohongnya telah membuatku bahagia.
“Ya udah, aku berangkat dulu ya, Kak.”
Kak Syifa mengacungkan jempolnya kepadaku. “Hati-hati…”
Aku mengeluarkan motor Honda Scoopy-ku.
***
Bersambung ke Menanti Kekasih di Perantauan [Part II]
0 komentar:
Post a Comment