Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Mampet

13 February 2013

Apa ya ?

Aku mengaruk-garuk kepala untuk kesekian kali, bukan karena gatal, namun aku mencoba mengorek-orek sampah-sampah ide yang bersarang di kepalaku. Kutatap langit-langit. Tidak ada apa-apa di sana. Kupelototi permukaan karpet. Hitam saja tiga perempat warna karpetku memang hitam. Kuperhatikan jam weker biruku. Kosong. Ke bawah meja. Sama. Ke tembok. Apalagi! Hanya sarang laba-laba saja yang nampak di mataku.
Continue Reading...

Gosip [Part II]

16 January 2013

Lanjutan dari Cerpen > Gosip [Part II]

Esoknya harinya, semua orang di kampungku heboh dengan gosip itu. Dari sudut rumah ke sudut rumah, tiap orang yang berkumpul membicarakan Pak Kiswanto yang tengah pergi entah ke mana. Itu kudengar sewaktu aku pulang dari sekolah, di mana aku harus melewati gang kecil yang panjang. Dan rumahnya kiri-kanan rekat-rekat. Hembusan gosipnya, sudah terpelintir lagi jadi bermacam-macam. Sependengaranku, ada yang berkata, “Pak Kis, dipenjara.” Itu kata Bu Ginem, orang yang usianya sudah sepuh sekali.

Ada yang bilang juga, “Pak Kis diculik. Lelaki gondrong yang menghampirinya kemarin itu adalah penculiknya. Lantaran Pak Kis tidak membayar utang-utangnya.” Yang ini dibilang Eko, pemuda harapan bangsa yang masih duduk di bangku SMA kelas III. Ada pula yang mengatakan, “Pak Kis digondol Wewe.” Ah, gosip apalagi itu. Dan masih banyak gunjingan-gunjingan miring tentang Pak Kis. Aku sebetulnya ingin menutup kuping agar hembusan-hembusan gosip itu tak sampai ke telingaku. Apa lacur, suara seperti air, biar ditutup bakal tetap menembus asalkan ada udara.

Continue Reading...

Gosip [Part I]

Adalah Bu Lilik, seorang nyonya majikan ibuku, yang sedang kebingungan mencari suaminya, bertanya kepada ibuku. “Mbak Sri, Pak Kis ke mana ya?” Demikian tanyanya kepada ibuku. Yang ditanya karena tak tahu sedang ke mana yang ditanyakan menjawab, “Tidak tahu, Bu Lilik. Tadi memangnya kemana?”

“Sore tadi bilangnya keluar sebentar sama seorang lelaki gondrong. Nggak tahu kemana,” jawabnya, “Anaknya rewel terus soalnya.”

Yang dimaksud anak keduanya, yang masih bayi. Umurnya belumlah setahun. Seorang bayi lelaki yang cukup mirip sama ayahnya. Menurut ibunya. Soalnya, waktu Bu Lilik baru pulang dari rumah sakit, dan aku turut menengok bersama ibu, Bu Lilik bilang begitu sambil mesam-mesem. “Tanya saja sama yang di depan, Bu, barangkali saja mereka tahu,” tukas ibuku.

Continue Reading...

[Cerpen] Menanti Kekasih di Perantauan

04 January 2013

Part I

#1

Aku berjalan di Metropolitan Mall tanpa tujuan. Entah, ada apa dengan otakku ini. Tiba-tiba saja aku teringat dengan mantan pacarku, Jono. Di tempat inilah, kami berdua sering menghabiskan waktu bersama. Nonton, makan, minum, atau hanya sekadar nongkrong tanpa punya tujuan jelas mau apa –apalagi, kalau sedang berkantung cekak. Tiga tahun. Terlalu banyak kenangan manis untuk dilupakan. Kini sudah satu tahun kami putus kontak. Apa kabarnya ya sekarang?

Tiba-tiba langkahku terhenti di depan toko buku Gramedia. Jono suka mencari buku baru di situ. Kalau sudah ada di sini, hmm… bak anak kecil berada di toko mainan. Semua dilihatnya. Jika ada buku yang disukanya pasti akan langsung dibeli. Tidak peduli berapa harganya. Ah, tahu betul aku sifatnya itu.

Aku memutuskan tidak jadi masuk ke sana. Kakiku enggan untuk dibelokkan ke sana. Aku hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah. Hingga sampailah aku di depan KFC. Gambaran-gambaran kenangan saat kami berdua makan di sana berputar lagi, flashback. Dan itu membuatku bersedih. Tidak terasa mataku berkaca-kaca. Aku segera berjalan menuju kamar mandi untuk menyeka air mataku meleleh lebih jauh. Di cermin, aku melihat pantulan diriku. Aku merutuki diri karena tidak bisa tepiskan ingatanku akan dirinya.

Sejak Jono meneruskan kuliahnya di Australia, kami hanya berhubungan melalui email, facebook, twitter, dan telepon saja. Tidak bisa yang lain. Long Distance Relationship membuatku merasa berpacaran dengan mesin-mesin itu, bukan dengan manusia. Walau ada yang berkata, toh sama saja yang mengaktifkan mesin-mesin itu adalah manusia. Tapi, bagiku itu tetap berbeda. Sejak setahun lalu aku merasa hubungan ini “digantung”. Jono menghilang di Australia tanpa jejak yang bisa kulacak. Setiap email yang kukirimkan, yang kuharap ada balasan, tidak pernah mendapat jawabannya. Apakah ini artinya Jono sudah melupakanku? Apakah ini berarti ada cewek lain di sana, yang lebih bisa menggantikan peranku? Arrrggh… Entahlah, aku tidak tahu.
Continue Reading...

Cerpen Cinta: Kamu

07 November 2012

Aku sedang membaca ketika kawanku kos, Dwi namanya, masuk dengan tiba-tiba ke dalam kamarku. Membuat mataku segera berpaling ke arahnya. Ia yang kutatap tersenyum seraya melemparkan sapa.

“Halo, lagi apa?” tanyanya.

“Biasalah. Cuma baca sekalian merilekskan pikiranku,” jawabku, “tumben. Nggak keluar sama cowokmu?”

Ia menggeleng. “Nggak. Sepi aja di kamar sendirian, tanpa kawan. Maklum liburan panjang, pada pulang semua.”

Aku mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Betul apa yang dikatakannya. Hampir semua anak kos di sini sedang mudik menyambut libur yang panjang. Empat hari. Lumayan untuk melepas rindu, melepas beban yang membebat pikiran di kota yang menurutku kian sumpek dan panas saja ini. “O, gitu ya. Kupikir ada apa?” Aku kembali merebahkan diriku di kasur dan menyuntuki kata per kata bukuku.

Dan Dwi kawanku itu segera ke arah meja, mengambil laptop yang teronggok saja di atasnya. “Kunyalakan ya…” katanya.

“Ok.”

Untuk beberapa lama waktu berjalan, tak ada percakapan di antara kami. Semua dalam keheningannya masing-masing, menikmati kegiatan yang tengah disuntuki. Yang terdengar hanyalah derik suara kehidupan hewan malam dan suara dari laptopku yang sedang memutar lagu, entah apa judulnya—aku sudah tidak mengupdet lagu-lagu pop masa kini. Tiba-tiba saja Dwi kawanku itu nyeletuk.

“Vee,” kata Dwi.

“Hmm…”

“Kamu dapat salam.”

“Salam? Salam dari siapa?" tanyaku.

“Dari mantan kakak kelasku!”



"Siapa?"



"Mas Noel."
 

Deg. Jantungku berdegub cepat. Aku berhenti membaca. Lalu kutatap Dwi kawanku itu. “Ah, becanda kamu…” Dan, tanpa sadar, senyumku mengembang. Kubayangkan dia. Dia yang pernah ke kos ini beberapa tempo lalu untuk menemui Dwi dan memencet bel, namun tidak kudengar. Dia yang pernah menjadi cerita lima tahun silam.

“Nggak. Ini betulan. Suer.” Dua jari tangan kanannya—manis dan telunjuk—diacungkan, membentuk huruf V, yang memiliki maksud aku tidak bohong lho.

“Ya, makasih salamnya.” Senyumku masih belum menghilang dari bibirku. Dwi memandangiku dengan mimik aneh, membuatku terbingung dengan tingkahnya itu. Selanjutnya ia mengangkat bahunya, seperti mengisyaratkan bahwa “hello, aku menunggu jawab dari kamu lho.” Yang mana juga kubalas dengan gerakan yang tak kalah membingungkannya dengan mengangkat bahu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengisyaratkan bahwa “apa maksudmu? Aku nggak ngerti!”

“Gitu aja?” Akhirnya maksudnya terlontar juga dari mulutnya, persis seperti kukira.

“Gitu gimana?”

“Nggak ada balasan?”

“Nggak!” Kuakhiri pembicaraan. Dan keadaan kembali tenang seperti awal, terkecuali hatiku yang masih dag-dig-dug. Entah mengapa. Benakku kembali merekatkan kembali ingatan lima tahun lalu. Aku tidak menyukai itu. Dalam hati, aku mengutuk pecahan-pecahan ingatan itu. Mengapa dia datang kembali saat ini? Bukankah dia sudah cukup berumur untuk memiliki seorang istri? Aku mengeraskan hatiku. Peduli apa aku dengannya. Kubacai lagi bukuku. Menekuni kata demi kata untuk melupakannya.
[]
Continue Reading...

Ryan Sang Don Juan (1)

29 December 2010

“Pindah channel-nya!” tukas Ryan pada adiknya, Maryam.

Maryam bingung melihat tingkah kakaknya yang demikian. Sejurus kemudian, gadis manis itu berkata, “Nggak. Acaranya bagus…”

“Bagus apaan? Jelek gitu?!”

“Kenapa sih? Nggak ikut nonton aja komentar. Berisik tauk?!”
Continue Reading...

Maju

14 December 2010

“Swear… itu sangat sulit dilakukan, Bro!” seorang lelaki, kawanku, berbisik di telinga kiriku. “Apa kau siap menanggung risiko itu? Aku pun melakukannya dengan terbata-bata kemarin. Mampus dah…”

Beragam pikiran dan imajinasi segera melintas di awang-awang otakku. Tergambar betapa sulitnya hal yang akan kulakukan. Bagaimana kalau ini, bagaimana kalau itu? Bagaimana jika begini? Bagaimana jika begitu? Tak selesai…

“Gimana, Mas? Mau ndak mbantuin aku seminar skripsi?” wanita berparas ayu dengan jilbab biru muda tampak memohon memelas.

Aku melihat kawanku, meminta pendapatnya. Ia hanya mengedikkan bahu, yang berarti oh-aku-bebas-dari-tanggung-jawab. Aku mendengus….

“Jujur saja, Ve, abang belum pernah melakukannya. Apa tak ada orang lain yang bisa membantu kau?” tanyaku akhirnya.
Veti menggeleng lemas. “Semuanya mengatakan hal yang sama: mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Paling orang yang masih bisa kutemui ya kamu, Mas.”

Aku mengangguk-angguk. Temanku membisikkan sesuatu. “Beuh, belum tahu saja kau rasanya dihajar kata-kata sama si Haikal. Wah… tak bisa bantu aku kalau kau diserang. Aku lebih baik mundur sajalah.”

Ck, bahaya juga sih untuk keselamatanku. Tapi, bagaimana ini? Aku melirik Veti. Manis juga gadis ini, kalau sedang tergesa dan bersusah hati. Aku mengambil keputusan…

“Baiklah. Jam berapa aku harus hadir di acara seminar skripsimu?!”

“Yess…” Veti senang. “Besok Mas, jam 9 pagi di kelas ini ya… Makasih before…”

Yap, aku melakukan lagi. Hal gila yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Tapi, sebodo ah, emangnya gue pikiran.

* * *

Dan keesokan harinya, semua berjalan dengan sempurna tak ada tanda-tanda kesulitan yang berarti, yang berarti aku berhasil. Dan rasanya biasa saja… seperti menjalani hidup kita sehari-hari. Hahahaha…
Continue Reading...

Stroke

07 December 2010

Pak Zainal tersenyum-senyum sendiri ketika melihat para tamu undangan resepsi pernikahan anaknya tampak senang. Yep, apalagi yang diharapkan oleh seorang penghajat, selain melihat tamunya senang? Resepsi itu sendiri dibuat besar-besaran, mewah. Memang itulah yang direncanakan Pak Zainal sekeluarga. Dilihatnya sang anak kelihatan bahagia bersanding dengan sang pengantin wanita. Keduanya berbalut busana khas Yogyakarta, karena memang dari sanalah keduanya berasal.

Yep… ini akan menjadi hari terbaik baginya dan di masa depannya nanti.

* * *

Beberapa tetangga datang ke rumah Pak Zainal. Para warga sekitar mendapat kabar kalau Pak Zainal terkena stroke dalam sebulan ini. Memang sejak anaknya menikah, urat syaraf Pak Zainal menegang dan tak bisa kembali mengendur. Desas-desus yang berkembang di dalam masyarakat, Pak Zainal stroke karena terlampau banyak utang. Di samping, hartanya sudah ludes semuanya.
Continue Reading...

Dipecat

06 December 2010

Pak Idham tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas. Terlambat lagi ia hari ini untuk mengajar. Dilihatnya murid-murid riuh tak memerhatikan dirinya masuk ke dalam kelas. Pak Idham memang guru senior di sini. Pengalamannya mengajar sebagai guru honorer sudah dua puluh tahun. Selama itu pula ia menunggu untuk diangkat jadi PNS.

Pengalamannya sebagai guru kawakanlah yang membuatnya berhasil menenangkan para murid yang sedang riuh itu. Kemudian, sebagai guru yang baik, ia memulai pengajarannya secara runtut yang telah dihafalnya selama dua puluh tahun ini.

* * *

Selesai mengajar Pak Idham dipanggil Bu Vera—kepala sekolah SMP Suka-Maju. Bu Vera terkenal keras, khususnya pada para guru honorer yang mangkir. Barangkali ia memang menginginkan tak ada lagi guru honorer di sekolahnya supaya tak menghabiskan bujet ABKS (Anggaran Belanja Keperluan Sekolah). “Telat lagi ya…” tutur Bu Vera.

Pak Idham hanya mengangguk pelan, kemudian tertunduk.

“Sudah saya peringatkan pada Pak Idham supaya tidak telat. Tapi… apa alasan bapak telat lagi hari ini?!”

“Maaf, Bu,” jawab Pak Idham, suaranya terdengar tercekat. “Saya harus mengantarkan makanan kecil ke warung-warung yang saya titipi...”

“Itu kan bukan tugas Bapak! Tugas Bapak adalah mengajar di sini, bukan yang lainnya! Mengerti?!” Bu Vera berusaha mengatur ritme suaranya yang terdengar meninggi. Dan tidak enak di telinga Pak Idham.

“Baik, Bu. Maaf… Lain hari tidak akan terjadi lagi.”

“Tidak ada lain hari.”

“Maksud, Bu Vera?!”

“Mulai hari ini Pak Idham dipecat!”

Bulir-bulir air keluar dari dua mata Pak Idham yang berkaca-kaca. Kerja dua puluh tahun pupus sudah. “Huff…” Pak Idham menghela napasnya, tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Ia pulang menjinjing tas kerja, kemeja biru muda sudah terlihat lusuh beriringan dengan raut mukanya yang kusut. (lil)
Continue Reading...

HO HO HO

Hari sudah menjelang malam saat seorang bocah lelaki kecil masih terpekur sendirian di dalam kamarnya. Ini malam natal, seru banyak orang, termasuk kawan-kawan sebayanya. Ia sendiri tak tahu apa itu malam natal. Orang-orang bilang malam yang kudus, di mana seorang sinterklas akan datang yang mengabulkan doa dan keinginan anak-anak.

Ia tak pernah mengenal sinterklas si pembawa mainan. Yang dikenalnya adalah Mang Ujang, yang saban pagi sampai siang, saat sekolahnya tutup, menjajakan mainan-mainan yang terbuat dari plastik kepadanya dan kawan-kawannya satu sekolah. Yang mukanya belumlah tua, tak bisa dibilang muda. Ya... ya... ya... seperti itulah Mang Ujang.

Bocah itu kembali menekuri pikirannya yang masih menggayut. Barangkali sinterklas itu wajahnya mirip sama Mang Ujang si penjaja mainan. 'Toh, kedua-duanya memang membawa mainan untuk anak-anak kan?' batin si bocah. 'Kalau begitu semisal nanti sinterklas datang ke rumah, aku harus membayar mainannya dong?'

Lantas kaki-kakinya yang masih mungil itu melangkah ke celengan babinya yang terbuat dari genting. Dikocoknya celengan babi itu beberapa kali. Memeriksa apakah ada uang di dalam sana. Ternyata ia mendengar beberapa rincing bunyi duit logam. Sesaat kemudian bocah itu membanting celengannya. Brakk... berhamburanlah duit-duit logam yang telah dikumpulkannya dengan susah payah. Dihitungnya satu-per-satu duit logam miliknya. Hanya ada tiga ribu tiga ratus rupiah saja. Hmmh, apakah harga mainan yang dipintanya lebih mahal? Atau lebih murah?

Desis di bibirnya lirih terdengar, 'Sinterklas yang baik, tolong kabulkan. Aku hanya ingin mainan yang bentuknya serupa dengan ayah dan ibu. Itu saja. Apakah duit yang kupunya ini kurang? Atau cukup untuk membelinya?'

Jam menunjukkan pukul dua belas kurang sebelas menit. Bocah itu sudah berada di alam mimpinya. Menikmati kebersamaannya bersama ayah dan ibunya di alam mimpi. (lil)
Continue Reading...

KESURUPAN

04 August 2010

Hari ini merupakan hari ketiga ospek siswa baru dilaksanakan. Karena saking lelahnya, mendengarkan celoteh kakak-kakak senior, yang entah penting entah tidak itu, Eko duduk di pojok ruang sambil terkantuk-kantuk. Pikirannya melayang-layang cepat-cepat, dari masa depannya, ospek sekolahnya yang masih dua hari lagi, dan segala macamnya.
Continue Reading...

HANTU KEPALA BUTUNG

29 July 2010

“Maaf, aku tak bisa melanjutkan hubungan kita lagi...” demikian kalimat terakhir yang diucapkan Kaila yang masih diingat Syahril, ketika wanita itu memutuskan jalinan kasih mereka berdua.

Syahril tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi. Padahal ia sangat mencintai Kaila, wanita yang sudah dipacarinya sejak masa muda. Tapi, apa mau dikata, uang telah mengalahkan segalanya. Parmin, lelaki yang merebutnya itu, lebih kaya dibanding dirinya. Meskipun kalau membandingkan secara fisik, ia lebih ganteng daripada Parmin, yang mukanya aduh tak berbentuk. Ingin rasanya ia berteriak, namun tak sanggup.
Continue Reading...

MISTERI KAMAR NOMOR 13

Sudah sejak lama, Azriel dan Maya, merencanakan Yogyakarta sebagai tempat tujuan berbulan madu. Yah, maklum keduanya memang punya kenangan sendiri dengan kota itu. Budayanya, orangnya, semuanya membuat mereka terkenang. Karena itu, setelah keduanya menikah sengaja tujuannya ke Yogya sebagai rangka tempat tujuan mereka berbulan madu.
Continue Reading...

Cerita Pendek (5)

16 October 2009

Seolah kehilangan daya hidup seorang lelaki merasa lemah dan rapuh. Ajaran yang didapatnya ketika kecil, bahwa lelaki harus kuat dan tak boleh menangis itu kini dilupakannya. Tersedu-sedu ingin mati. Serasa dunia menimpa dirinya seorang diri.

Seorang wanita galak datang. Ia adalah kawan bagi sang lelaki lemah dan rapuh. Menemukan kawan lelaki terbaring di atas tanah, ia menghampirinya. Ditanyanya lelaki itu, "Kenapa kamu?"

Tak ada sahutan. Ditanya lagi lelaki itu, "Kenapa kamu?" Tak terdengar juga sahutan. Kesal hati si wanita galak. Diangkatnya kepala lelaki yang sudah tiada daya upaya itu, dan ditanyanya sekali lagi. "Kenapa kamu?!"

Baru si lelaki menjawab, "Aku lelah. Aku ingin akhiri hidup. Sudah tak menyenangkan lagi. Sudah tak menantang. Semangat kehidupanku menghilang. Menguap berubah bentuk menjadi energi hidup bagi yang lain."

Mendengar kata-kata itu, si wanita marah luar biasa. Ditamparnya lelaki itu dengan kata-kata yang dashyat.

Kamu ini kenapa sih? "Kamu minta kekuatan, Tuhan sudah beri kamu masalah. Kamu minta kesabaran, Tuhan beri kamu cobaan. Kamu minta kaya, Tuhan beri kamu hutang untuk kamu lunasi."

Dengan kata-kata itu, sang lelaki bangkit, ia bersemangat lagi. Kelak ia menuliskannya untuk dibagikannya pada orang-orang.
Continue Reading...

Cerita Pendek (4)

15 October 2009

Seorang lelaki tampan tengah membodohi seorang wanita berambut sebahu yang memakai kaus merah ketat dan raut rupanya semirip singa. Dia celingak-celinguk mencari namanya di blog ini. Tapi ketika namanya ada di salah satu posting blog ini dia misuh-misuh.... MISUH! Selesai.

(Lilih Prilian Ari Pranowo)
Continue Reading...

Cerita Pendek (3)

14 October 2009

Seorang wanita baru pulang dari kerja, setelah bertemu kawan semasa smp-nya. Lelah betul ia hari ini hingga menguap-uap. Didengarnya hp-nya berdering. Diangkatnya. Seorang lelaki. Sedikit agak bersemangat ia mendengar suara lelaki itu, tapi kantuknya sudah berlebih-lebihan. Setelah menceritakan tentang pertemuannya, ia undur diri, meminta sang lelaki untuk menelponnya lagi besok. Lantas, ia pun menghela napasnya. Dibukanya pakaiannya, ia pun mandi. Setelah itu memakai baju lagi, dan ia tidur berniat tidur pulas. Selesai...

(Lilih Prilian Ari Pranowo)
Continue Reading...

Cerita Pendek (2)

10 October 2009

Malam minggu. Seorang lelaki menelpon perempuannya, katanya, "hallo, aku mo absen." Tertawalah si perempuan mengetahui maksud si lelaki. Selesai.
Continue Reading...

Cerita Pendek (1)

08 October 2009

Dua orang dipertemukan kembali. Berkomunikasi lagi. Saling tertarik dan jatuh cinta.

Continue Reading...

Kamu

14 April 2009

Aku sedang membaca ketika kawanku kos, Dwi namanya, masuk dengan tiba-tiba ke dalam kamarku. Membuat mataku segera berpaling ke arahnya. Ia yang kutatap tersenyum seraya melemparkan sapa.

“Halo, lagi apa?” tanyanya.

“Biasalah. Cuma baca sekalian merilekskan pikiranku,” jawabku, “tumben. Nggak keluar sama cowokmu?”

Ia menggeleng. “Nggak. Sepi aja di kamar sendirian, tanpa kawan. Maklum liburan panjang, pada pulang semua.”

Aku mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Betul apa yang dikatakannya. Hampir semua anak kos di sini sedang mudik menyambut libur yang panjang, empat hari. Lumayan untuk melepas rindu, melepas beban yang hadir di kota yang menurutku kian sumpek dan panas saja ini. “O, gitu ya. Kupikir ada apa?” Aku kembali merebahkan diriku di kasur dan menyuntuki kata per kata bukuku.

Dan Dwi kawanku itu segera ke arah meja, mengambil laptop yang teronggok saja di atasnya. “Kunyalakan ya…” katanya.

“Ok.”

Untuk beberapa lama waktu berjalan, tak ada percakapan di antara kami. Semua dalam keheningannya masing-masing, menikmati kegiatan yang tengah disuntuki. Yang terdengar hanyalah derik suara kehidupan hewan malam dan suara dari laptopku yang sedang memutar lagu, entah apa judulnya—aku sudah tidak mengupdeti lagu-lagu pop masa kini. Dan… dalam kondisi yang demikian, tiba-tiba saja Dwi kawanku itu nyeletuk.

“V.”

“Hmm…”

“Kamu dapat salam.”

“Dari siapa?’

“Dari mantan kakak kelasku!”

Deg. Jantungku berdegub cepat. Aku berhenti membaca. Lalu kutatap Dwi kawanku itu. “Ah, becanda kamu…” Dan, tanpa sadar, senyumku mengembang. Kubayangkan kamu. Kamu yang pernah ke kos ini beberapa tempo lalu untuk menemui Dwi dan memencet bel namun tidak kudengar. Kamu yang pernah menjadi cerita lima tahun silam.

“Nggak. Ini betulan. Suer.” Dua jari tangan kanannya—manis dan telunjuk—diacungkan, membentuk huruf V, yang memiliki maksud aku tidak bohong lho.

“Ya, makasih salamnya.” Senyumku masih belum menghilang dari bibirku. Dwi memandangiku dengan mimik aneh, membuatku terbingung dengan tingkahnya itu. Selanjutnya ia mengangkat bahunya, seperti mengisyaratkan bahwa “hello, aku menunggu jawab dari kamu lho.” Yang mana juga kubalas dengan gerakan yang tak kalah membingungkannya dengan mengangkat bahu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengisyaratkan bahwa “apa maksudmu? Aku nggak ngerti!”

“Gitu aja?” Akhirnya maksudnya terlontar juga dari mulutnya, persis seperti kukira.

“Gitu gimana?”

“Nggak ada balasan?”

“Nggak!” Kuakhiri pembicaraan. Dan keadaan kembali tenang seperti awal, terkecuali hatiku yang masih dag-dig-dug. Entah mengapa. Benakku kembali merekatkan kembali ingatan lima tahun lalu. Dan aku tidak menyukai itu dan dalam hati aku mengutuk pecahan-pecahan ingatan itu. Mengapa kamu datang? Di saat ini. Bukankah kamu sudah cukup berumur untuk memiliki seorang istri? Aku mengeraskan hatiku. Peduli apa aku dengannya. Kubacai lagi bukuku. Menekuni kata demi kata untuk melupakannya.
(Lilih Prilian Ari Pranowo)
Continue Reading...

Dia

12 April 2009

Malam itu aku melihatnya. Ia sedang menonton televisi di ruang agak sebelah dalam. Sendirian. Aku tekan bel, untuk memanggil kawan yang sudah janjian bertemu dengannya. Katanya ia ingin meminta pertolonganku mengedit peta untuk lampiran skripsinya. Tiga kali kutekan bel itu. Tapi ia yang sedang sendirian menonton televisi tak bergeming dan tetap hening. Barangkali tak mendengar, pikirku. Hingga ada seorang perempuan keluar dan bertanya, "cari siapa ya?"

Dan ia pun menengok ke arah pintu depan. Ya ampun itu dia! "Aku cari Dwi."

Sebentar kemudian terdengarlah suara panggilan. "DWIIIIIII....!!!" Kawanku itu pun menyahut dan keluar dari persembunyiannya. Kamarnya. "Apa?" Tanyanya.

"Ada yang cari tuh..."

"Oiya..."

Aku tunggu di luar. Di bawah rerindangan pepohonan, yang malam itu agak gelap, sebab di bagian luar kos-kosan perempuan itu lampu kurang terang menerangi. Agak lama memang. Biasalah. Kawanku yang adik kelasku itu memakai baju yang sedikit pantas untuk menemui seorang tamu--meski bukan tamu yang spesial.

Setelah ia keluar dan menampakkan senyum, aku bertanya. "Mana peta yang ingin kau edit?"

"Ini, mas, pak Argus, minta dibikinkan skalanya." Dan ia menyerahkan selembar kertas bergambar peta yang agak lusuh karena dilipat-lipat olehnya.

"O, gampang. Oke deh." Lantas kami mengobrolkan hal-hal di luar itu, seperti kegiatan kami selama ini, maklum jarang bertemu. Dan aktivitasnya selama menjalani tahap membuat skripsi dengan pembimbingnya pak Argus, yang telah kujalani dua-tiga tahun lampau.

Setelah obrolan agak mereda dan mencair seiring berjalannya waktu, aku bertanya padanya: "Eh, itu yang duduk di depan tipi sendirian, namanya V ya?"

Kawanku yang seorang perempuan itu mengangguk-angguk. "Iya, mas. Lho kok tahu? Kenal?"

Gantian aku yang manggut-manggut. "Iya, kenal. Yang anak Sosiologi itu kan? Seangkatan sama kamu kan?"

"Iya. Kenapa mas?"

"Nggak. Nggak apa-apa kok."

Lantas obrolan pun mencair entah bergulir ke mana. Sementara pikiranku masih tetap terpaku pada ia yang duduk di depan televisi sendirian. Aku jadi teringat sebuah buku yang ditulis oleh Mushashi Miyamoto bertajuk "Kitab Lima Cincin": Bahwa pikiran tidak boleh ditempatkan pada sesuatu, sebab pikiran itu berjalan dan hidup itu bergerak. Jika pikiran ditempatkan pada sesuatu, maka kau akan tertebas pedang. Tapi, segera kusingkirkan ingatan teoretis itu. Malas. Ini bukan saatnya berbicara teoretis. Ini hal yang nyata. Sangat nyata.

Lantas ia yang duduk di depan televisi, beranjak dari duduknya, mematikan televisi yang ditontonnya dan berlalu dari situ ke lantai dua. Dan menghilang dari pandanganku. Aku agak celingukan mencarinya, yang mana kemudian dilihat oleh kawanku itu. "Ada apa mas?" ia pun bertanya.

"Nggak ada apa-apa kok."

"Mau tak salamin?"

Aku diam. Tapi dalam benakku ini tawaran menarik. Hem, tapi ingatanku melayang pada tahun 2004. Ah, kutepis lagi. Tapi pertemuan ini adalah buktinya. Aku telah mencarinya beberapa saat untuk meminta maaf dulu. Dan tak pernah kutemukan bekar jejaknya hingga saat ini.

Aku pamitan pulang sama kawanku. Dan berjanji kembali pada hari Rabu minggu ini untuk menyerahkan apa yang ditugaskannya padaku. Tapi kembali ketika aku beranjak, benakku mengatakan ini tawaran menarik dan belum pernah terjadi. Maka, aku beralih pikiran. "Hem..."

"Apa mas?"

"Salamin sama dia yah..."

Ia pun tersenyum. "O... Baiklah. Salamnya apa nih?"

"Ah, bisa aja kamu ini," tukasku. Aku berlalu dari kawanku.

Dalam perjalanan pulang, aku membayangkannya kembali. Membayangkan kenangan yang sudah berlalu lima tahun lebih. Apakah waktu itu berkesan baginya? Entahlah. Aku tak ingin menerkanya.
(Lilih Prilian Ari Pranowo)
Continue Reading...