Adalah Bu Lilik, seorang nyonya majikan ibuku, yang sedang kebingungan mencari suaminya, bertanya kepada ibuku. “Mbak Sri, Pak Kis ke mana ya?” Demikian tanyanya kepada ibuku. Yang ditanya karena tak tahu sedang ke mana yang ditanyakan menjawab, “Tidak tahu, Bu Lilik. Tadi memangnya kemana?”
“Sore tadi bilangnya keluar sebentar sama seorang lelaki gondrong. Nggak tahu kemana,” jawabnya, “Anaknya rewel terus soalnya.”
Yang dimaksud anak keduanya, yang masih bayi. Umurnya belumlah setahun. Seorang bayi lelaki yang cukup mirip sama ayahnya. Menurut ibunya. Soalnya, waktu Bu Lilik baru pulang dari rumah sakit, dan aku turut menengok bersama ibu, Bu Lilik bilang begitu sambil mesam-mesem. “Tanya saja sama yang di depan, Bu, barangkali saja mereka tahu,” tukas ibuku.
“Sudahlah. Nanti juga pulang sendiri,” jawabnya sembari masuk lagi ke dalam rumahnya. Bersamaan dengan masuknya Bu Lilik ke dalam rumahnya, TB, panggilan akrab seorang lelaki asal Gunung Kidul yang juga pekerja Bu Lilik datang. Nama aslinya Supar. Bertanyalah ibu sama TB perihal majikannya, Pak Kiswanto.
“Mas TB, lihat Pak Kis ndak?”
“Tadi kan keluar bareng lelaki berambut gondrong? Memangnya kenapa Bu Sri?” tanya TB.
“Terus sekarang ada di mana?” TB mengangkat bahunya tanda tak mengerti, “Itu tadi, Bu Lilik, nyariin dia. Anaknya rewel terus, katanya.”
Keduanya terdiam. Kembali pada pekerjaannya masing-masing. Ibu mencuci piring, sementara TB mengangkat air panas buat wedangan pelanggan. Ibu dan TB memang pekerja dari warung makan laris yang dimiliki oleh Pak Kiswanto dan Bu Lilik. Ibu bagian belakang, bagian cuci-mencuci, sendirian. TB bagian depan, bersama enam orang pekerja yang pengurus administrasi, goreng-menggoreng, racik-meracik, saji-menyaji.
Dan beberapa saat kemudian, Ibu dan TB terlibat dalam percakapan kembali. Sepertinya mereka akan buka-bukaan sesuatu alias menggosipkan hal-hal yang sudah lama tersimpan rapi dalam “lemari besi”.
“Mas TB, jangan-jangan laki-laki gondrong yang membawa Pak Kis itu polisi berpakaian preman ya?” Tanya ibuku.
TB memandang ibu. Dalam sepersekian detik di pikirannya terpantik listrik yang menyalakan bohlam ide menuju pencerahan. Dan berkatalah ia, “Bisa jadi. Toh, saya melihatnya keluar sore-sore tadi dan belum kembali hingga kini. Padahal malam sudah larut, warung pun sudah mau tutup.”
Dengan sedikit bersemangat, ibuku mendekat ke TB yang sedang berjongkok mengepul-ngepulkan api dari kayu bakar supaya lebih membesar. Kemudian berbicara pelahan, sangat pelahan, hingga tak seorang pun mampu mendengarnya, kecuali TB. “Apa ini soal ‘kasus itu’ lagi ya?”
“’Kasus’ itu lagi?” mata TB terbelalak, “Masak? Kok nggak kapok ya?”
“Eh belum tentu juga ding.”
“Lho, kenapa?”
“Yah, namanya juga dugaan, mas TB. Bisa saja salah tho?”
Mereka manggut-manggut. Gosip sudah diembuskan. Dan tentu saja tak butuh waktu berlama-lama, akan menyebar macam panu di kulit manusia ke mana-mana. Cepat betul. Tanpa kendali.
Pulangnya ibu bercerita pada kami. Keluarganya. Aku turut mendengarnya. Kubilang saja pada ibu, “Aalah, itu gosip bu. Jangan terlalu berburuk sangka terhadap orang lain. Jangan dibesar-besarkan. Bisa saja lelaki itu temannya dan Kiswanto sedang menginap di rumah temannya.”
“Kau meremehkan naluri ibu. Bagaimana mungkin, seorang suami meninggalkan seorang istri di rumah tanpa tahu di mana ia berada. Apalagi, ia memiliki seorang bayi berumur belum lebih dari setahun.”
Aku terdiam. Frame pikirku masih memakai visi anak muda yang masih bujang dan belum terbebani pikiran orang lain selain diri sendiri. Bapakku yang sedari tadi diam saja, kini ikut-ikutan. Ia, memang suka wacana-wacana gosip masyarakat sekitar. “Semua itu bisa lho. Ingat, apa sih di dunia ini yang tak mungkin? Semua serba mungkin. Apalagi motifnya memiliki kaitan ekonomi. Betul nggak?” Bapak meminta persetujuan semua pihak pendengar, khususnya adikku, bukan aku. Karena aku punya pendapat sendiri mengenai kejadian ini.
***
Bersambung ke Cerpen > Gosip [Part II]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment