Bangkai

04 August 2008

print this page
send email
Aku tak tahu kapan tepatnya terjadi ribut-ribut di ujung jalanan itu. “Bangkai kucing! Bangkai kucing!” begitu teriak mereka, iya mereka—orang-orang itu—para tetanggaku. ‘Bangkai kucing?! Hanya bangkai kucing?! Kenapa heboh sekali?!’ tanyaku bergumam, ‘penting?’ Aku tak tahu atau mungkin lebih tepatnya aku tak peduli. Toh, hanya bangkai kucing saja, kan? Bukannya bangkai manusia. Atau memang sudah lebih berharga bangkai kucing daripada bangkai manusia?

“Mbak, nggak mau liat?” Tanya Obet yang kebetulan lewat di depan rumahku, saat aku ingak-inguk di depan rumah.

Karena sepertinya Obet mau ke sana, aku jadi bertanya saja padanya. Konfirmasi. “Mau kemana kamu Bet?”

“Mau kesana!” Katanya sambil menunjuk arah kerumunan-kerumunan orang itu.

“Kesana?! Mau liat bangkai kucing itu?” Tanyaku lucu.

“Iya, mbak.” Dibarengi dengan anggukannya yang mantraps.

“Bangkai kucing aja kenapa heboh sekali sih?” Tanyaku lagi kemudian.

“Bukan masalah bangkainya mbak, tapi orang yang nabrak kucing itu nangis sejadi-jadinya.”

“Lha ini lagi... terus kenapa?” duh tambah bingung aku. Namun kebingunganku sekaligus memantik rasa penasaranku.

“Ah, udahlah mbak! Kalau mau tahu lebih, ke sana saja! Aku mau ke sana nih, nanti ketinggalan berita lagi,” Obet ngeloyor pergi dengan cepat menghampiri orang-orang yang berkerumun itu.

Setelah Obet pergi dadaku dipenuhi dengan rasa penasaran yang hebat. Mendesak-desak ingin keluar. Keingintahuanku pada apa yang terjadi semakin menguat. Pandanganku masih kutujukan ke arah kerumunan orang-orang itu, sambil sesekali kujawab sapaan orang-orang yang lewat di depan rumahku, yang ingin kesana juga tentunya. Kukepalkan jemari tanganku. Aku harus mengambil keputusan, akan melihatnya atau tetap tinggal di rumah saja. Kuputuskan saja, aku akan melihatnya. Walaupun dalam pikiranku masih tersimpan penilaian bahwa ini suatu kekonyolan dan kesia-siaan belaka. Tak apalah, aku tak boleh ketinggalan informasi sedikitpun dari orang lain. Percuma aku belajar menjadi wartawan kampus, jika aku sampai ketinggalan informasi ini.

**
Sesampainya di sana, aku melihat banyak tetanggaku ikutan berjejer membulat membentuk lingkaran kerumunan. Aku mencoba menanyai mereka satu persatu. Tapi semua jawaban itu mengesalkan, ‘liat saja sendiri, kan udah sampai sini.’ Aku geram betul sama jawaban itu. Tapi segera kutepis, bukankah aku kesini untuk tahu. Bukan untuk geram-menggeram tanpa alasan jelas.

Aku mencoba menerobos kerumunan orang yang sudah memadat. Sesak. Sesak. Nafasku tersengal. Namun tak kuurungkan niatku. Aku harus tahu, ada apa dengan bangkai kucing itu dan orang yang menabraknya. Sampai pada jejeran orang paling depan, aku melihat seorang laki-laki tertunduk dengan lesunya. Matanya lebam akibat mengeluarkan banyak airmata. Di dekatnya, sebuah motor tergeletak begitu saja, seolah tak ada pemiliknya. Mungkin motor itu miliknya.

Mencoba menerka-nerka apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh laki-laki itu. Aku diam saja, mengamati polanya dan segala bentuk gerakan yang dibuatnya. Kosong. Tak kudapatkan sesuatu apapun. Lalu tanpa sengaja, aku mendengar percakapan dua orang yang berdiri agak di belakangku. Aku memang diam saja, tak menengok ke arah mereka, namun sudah kupasang gendang telinga tajam-tajam.

“Aku rasa wajar, jika dia sampai menangis seperti itu. Soalnya dia baru saja menabrak seekor kucing. Kau tahu apa itu artinya? Malapetaka! Sebab sudah pasti si penabrak takkan hidup lebih lama lagi. Lha kucing itu binatang kutukan yang mempunyai sembilan nyawa, mati satu, nyawa yang lain aku akan menuntut balas. Apalagi sampai mati begitu, alamat sial baginya deh,” kata seorang lelaki bersuara berat, tapi bukan tetanggaku. Aku tidak mengenalnya.

“Nggak ada yang bakalan bisa nolongin dia. Habis salahnya sendiri, kucing mau nyebrang kok ditabrak. Padahal kucingnya nggak salah apa-apa. Coba kalau dia membanting setirnya supaya nggak nabrak kucing itu,” kata seorang yang suaranya wanita, “mungkin sekarang, kucing itu masih hidup dan dia nggak bakalan terkena kutukan.”

“Benar,” sahut lelaki yang bersuara berat.

Wah, aku jadi semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Apa hubungannya kucing dengan sebuah kutukan? Menggelikan, zaman begini kok masih bicara tentang kutukan, apalagi hanya gara-gara nabrak kucing. Apa kronologisnya ayo? Orang-orang desa yang aneh, percaya kok sama takhayul. Aku tersenyum geli, memikirkan pikiran orang-orang itu.

“Jangan tertawa kamu!!!” ujar laki-laki yang menangis, orang yang nabrak kucing tersebut, padaku. Aku tersentak dengan teriakannya. Kasar sekali orang ini terhadap wanita. Kemudian aku menatapnya. Dan dia membalas tatapanku dengan tatapan mata elangnya, yang sudah pasti basah dengan airmatanya. Ketakutanku menyeruak, hatiku kecut oleh kemarahannya, kepalaku tertunduk. Aku merasa bersalah. “Jangan tertawa kamu!!!” ulangnya lagi, “kau pikir ini sebuah panggung lelucon?! Saat komedian mulai beraksi hah?!” Aku menggeleng.

“Sudahlah pak istigfar,” seru seorang wanita, yang kuperkirakan adalah istrinya, mengelus-elus punggung lelaki yang menabrak kucing yang sudah jadi bangkai itu. “Sekarang banyak-banyaklah mohon ampun kepada Yang Kuasa, semoga kutukan itu segera dicabut.”

Lelaki itu kini mereda marahnya. Dan wanita yang berada di sebelahnya, memintakan maafnya padaku. Aku mengangguk-angguk. Lalu lelaki itu tertunduk lesu di dekat bangkai kucing itu. Gila … !!! Hal tergila yang pernah kujumpai. Kemudian orang-orang yang berkerumun mulai meninggalkan tempat itu satu persatu. Hingga tinggal beberapa orang saja yang ada. Mulai menyingkirkan motor lelaki itu, darah yang tercecer dari bangkai kucing itu segera di disiram dengan air. Dan bangkai kucing itu dikubur. Lalu semuanya pulang, keadaan kembali senyap. Aku pun pulang berbarengan sama Obet. Dan kutengok lagi ke arah lelaki itu ia masih saja menangis, dan istrinya mencoba menarik-nariknya untuk pulang dan melupakan saja kejadian itu.

**
“Aku masih nggak begitu mengerti apa yang dikerjakan orang itu sampai sebegitunya. Menangis karena menabrak kucing. Menyesal kenapa dia nggak lewat jalan lain atau jalan lainnya lagi. Kalau masalahnya ketakutan karena kutukan, salah sendiri kenapa percaya! Aku nggak percaya. Mati?! Kupikir nggak bakalan mungkin, memangnya siapa yang menentukan kematian? Manusia? Kucing? Kan nggak. Mati itu urusan Tuhan,” aku berceloteh panjang lebar pada Obet yang sore ini mampir ke rumahku. Entah, ada urusan apa. Sepertinya ingin berdiskusi denganku perihal bangkai kucing yang terlindas itu. Aku pun juga sedang ingin berdiskusi.

“Itu namanya kutukan mbak. Barang siapa yang tidak percaya …” belum lagi Obet selesai bicara, tiba-tiba seseorang dengan agak sedikit terengah-engah datang ke tempatku. Belum lagi nafasnya reda, ia berbicara.

“Kalian sudah tahu sudah mendengar beritanya belum?”

“Apa?!” Geleng kami berdua.

“Orang yang nabrak kucing itu sekarang mati. Dia dan sepeda motornya terjungkal di ujung jalan tempat di menabrak kucing itu.”

Lalu Obet segera bersiap. “Ok, Bet kamu duluan aja. Aku matiin air dulu.” Aku lagi masak air. Aku enggak percaya kematian itu dikarenakan kutukan dari si kucing. Obet dan orang tadi sudah berlalu. Aku segera ke dapur mematikan kompor gasku. Tetapi, betapa terkejutnya aku. Ada seekor kucing hitam didekat kompor. Karena buru-buru, aku segera mengusirnya. Tapi kucing itu enggak mau pergi. Dia tetap berdiri disitu, menatapku. Kuambil sapu saja, langsung kugebukkan pada kucing itu supaya enyah dari hadapanku. Tapi, tak ayal kucing itu diam saja kemudian terkena pukulanku dan terjatuh, sebentar aku memeriksa kucing itu, ternyata sudah enggak bernafas lagi. Tapi enggak ada waktu untuk mengurusnya. Kompor kumatikan, langsung saja kedua orang tadi kususul.

**
Setelah selesai semua aku pulang, dan kemudian aku mencium aroma yang lain dari biasanya. Entah apa. Sepertinya menguap memenuhi ruangan di rumahku. Tak kupikirkan. Aku segera kedapur, ingin melanjutkan masak airku. Masih sama seperti tadoi kucium lagi aroma itu. Seperti gas. Dan kugesekkan korek apiku. Lalu tiba-tiba semuanya menjadi merah. (end)

Yogyakarta, 2004

Juga dimuat di situs kolomkita.com, sebuah situs khusus cerpen.

0 komentar:

Post a Comment