Sampai Mati untuk Indonesia

31 July 2008

print this page
send email
“Menuju Nation Building Indonesia Majemuk”

Peranan kaum peranakan Tionghoa di Hindia Belanda, tak bisa dipungkiri, telah membawa warna tersendiri. Warna ini khususnya menyangkut sektor perekonomian. Tetapi, tak bisa dipungkiri pula bahwa sejarah kaum peranakan Tionghoa di Hindia Belanda, lekat dengan warna diskriminasi. Walau derajat kaum Tionghoa ketika masa penjajahan Belanda sedikit lebih tinggi daripada golongan Bumiputera -- termasuk dalam golongan bangsa Timur Jauh bersama India dan Arab --, tetapi nasib selalu menjadi second person di berbagai situasi, kerap ditimpakan pada golongan yang satu ini.

Situasi diskriminasi sedikit lebih terkikis kala Sun Yat Sen mendeklarasikan Negara Republik Tiongkok. Aura nasionalisme ternyata mengimbas pula hingga ke Hindia Belanda. Orang peranakan kini lebih bisa membusungkan dada dengan jiwa nasionalisme yang kini telah resmi mereka punyai. Untuk mewadahi semangat nasionalisme yang mulai berkembang inilah, kaum peranakan Tionghoa di Hindia Belanda membentuk sebuah perkumpulan yang dinamakan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada 1900. Tetapi sekira medio 1930-1945, THHK mulai hilang pengaruh dan tak terdengar lagi pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945. Walau telah menghilang, satu hal yang masih tersisa dengan kehadiran THHK adalah warisan sejarah, yaitu Ke-Tionghoa-an Indonesia.

Pasca kemerdekaan, muncul lagi sebuah perkumpulan dari peranakan Tionghoa. Kali ini bernama Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki berdiri pada 13 Maret 1954 yang dipelopori beberapa tokoh peranakan Tionghoa dengan Siauw Giok Tjhan sebagai ketua umumnya. Bertolak dari semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), Baperki mendorong diterimanya golongan Tionghoa yang terwujud dan berkembang di Indonesia ini sebagai bagian yang tak terpisah dari nasion Indonesia. Tujuannya menghadapi diskriminasi rasial di berbagai bidang.

Di dalam Baperki, para tokohnya menganjurkan kalangan Tionghoa Indonesia untuk mengintegrasikan diri ke dalam lapisan kegiatan Indonesia. Pun demikian mereka tak perlu menanggalkan gaya Tionghoanya, baik secara biologis maupun kebudayaan. Bagi orang-orang Tionghoa yang tergabung ke dalam Baperki, persatuan bukan berarti melumerkan jati diri mereka ke dalam pihak mayoritas. Mereka beranggapan bahwa kewarganegaraan Indonesia tak mengenal asal-usul keturunan, agama dan status sosialnya.

Baperki bergerak dalam bidang yang lebih luas daripada THHK, yaitu meliputi bidang ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan. Untuk mewujudkannya, di akhir 1950-an didirikan dan dikelola ratusan sekolah di berbagai kota besar. Dilanjutkan dengan mendirikan universitas di Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Malang, Solo dan Medan.

Corak pendidikan yang dikembangkan dalam sekolah yang didirikan Baperki, mengikuti kurikulum nasional yang dicanangkan pemerintah. Bahkan para siswanya didorong aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik nasional untuk mempercepat proses Nation Building. Corak ini berbeda dengan kebijakan yang diambil THHK yang menerapkan pendidikan yang berorientasi pada pola pendidikan ala Tiongkok.

Nyala api perjuangan Baperki untuk mencapai Nation Building, turut pula disponsori oleh Presiden Soekarno, yang kerap menyatakan bahwa Baperki adalah salah satu organisasi massa yang patut dijadikan teladan. Pemberian support ini dibuktikan presiden ketika berpidato pada pembukaan Kongres Nasional kedelapan Baperki di Istana Olahraga Gelora Bung Karno pada 14 Maret 1963. Dalam pidatonya, presiden menyatakan bahwa Baperki menjadi sumbangan besar dalam revolusi Indonesia. Tercatat dalam tinta sejarah, bahwa Baperki adalah partai politik Tionghoa yang paling berhasil memobilisasi massa Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya.

Pada pemilu 29 September 1955, Baperki mendapat 0,47 % suara atau sama dengan 1 kursi anggota untuk pemilihan parlemen. Sedangkan untuk memilih dewan konstituante, mendapat 0,42 % suara atau sama dengan 2 kursi.

Kisah Baperki mulai pupus ketika terjadi pergantian pemerintahan pada 1966. Proses panjang memperjuangkan Nation Building secara sistematis dihentikan, digantikan dengan slogan persatuan dan kesatuan bangsa model pemerintah Orde Baru. Bahkan kata Nation Building dilenyapkan dari perbendaharaan kata politik.

0 komentar:

Post a Comment