Hitam+Putih=Abu-abu

14 April 2009

print this page
send email
Ini hari aku pulang larut sekali, karena harus mengerjakan tugas dari adik bungsuku--yeah adikku memang cuma satu. Biasanya, kawan-kawan sudah pulang semuanya, ketika aku sendirian berada di kamar kerja, terkecuali tiga bandit yang memang jadi penunggu kantor: jenggun, jembil, sama miss rat. Tapi hingga beberapa hari ke depan, aku takkan bisa melihat tingkah polah jenggun sebab ia sedang mudik ke kampung halamannya. Soalnya keponakannya menikah. Eh, omong-omong soal jenggun, ternyata ia sudah punya cucu lho. Padahal ia baru berumur 23 tahun. Usut punya usut, ia anak ragil dari 15 bersaudara, di mana 2 atau 3 di antaranya meninggal, jadi tinggal 12 saja.

Lupakan soal jenggun tadi, aku tidak hendak menceritakan ia ini, pun aku juga takkan ingin menceritakan apa-apa sih sebetulnya. Hanya saja, tadi sore ketika aku hendak bermalam-malam ria, aku sempat mengobrol-ngobrol sama kawan-kawan desainer, namanya Ndestyan. Ia punya sejoli namanya Heng--mirip istilah komputer tho? Hehehe... Entah mengapa hari ini, dua bocah itu belum pulang, walau waktu sudah menunjukkan maghrib. Biasanya mereka sudah pulang kalau jam kantor sudah usai. Ah, tapi tak apa untuk kawan mengobrol.

Awalnya aku bertanya padanya, apakah ia mempunyai manga One Piece--salah satu manga Jepang yang kusuka. Ia menjawab punya. Bahkan, ia mengatakan bahwa ia lebih menyukai manga One Piece ketimbang Naruto, sementara aku menyukai kedua-duanya. Itu awalnya, namun obrolan itu semakin seru. Maklum aku tahu ia pecinta Jepang, dan ia pun punya pacar yang mendukung hobinya itu. Pasalnya, pacarnya besar di Jepang. Sementara aku hanya sedikit tahu mengenai Jepang dan kisah sukses manga. Kalau obrolan sudah ditarik ke tema itu, aku memang yakin bahwa orang yang agak pendiam itu akhirnya akan terpancing juga untuk angkat bicara. Hipotesaku terbukti betul. Kami berdua terlibat obrolan sedikit seru.

Aku takkan mengisahkan secara mendetail apa yang kami diskusi karena terlalu makan space dan memakan waktu pula untuk penulisannya dan tentunya akan membosankan. Inti dari pembicaraan kami adalah tentang mengapa tradisi kartun di Indonesia kerap kali diidentikkan dengan kanak-kanak. Maksudku, apa-apa yang berbau kartun bisa dijamin dilekatkan sama jiwanya anak-anak. Dan itu betulan terjadi di sini. Padahal di Jepang sendiri, kartun tidak diidentikkan dengan kanak-kanak, tetap ada pembagian genre usia. Yah, kita bisalah mengatakan bahwa Doraemon, Chibi Marukochan diperuntukkan untuk konsumsi anak-anak, tetapi jika kita membicarakan Final Fantasy? Kamen Raider? Death Note? Belum tentu kan?

Ndes bilang padaku, mengapa tradisi di Indonesia tidak seperti di Jepang. Jawabnya adalah karena di Indonesia budaya kita sering kali berpikir negatif dulu ketimbang positifnya. Hem, ada menggaruk-garuk janggutku. Betul juga apa yang dikatakan Ndes. Coba deh ambil contoh, pernahkah kita melihat seseorang melakukan yang dianggap bukan menjadi kebiasaan kebanyakan orang maka orang itu dianggap salah. Ketinggalan zaman, meski yang terjadi bukan seperti itu.

Beberapa orang di sini, untuk tidak mengatakan lebih dari separuh, kerap berpikir biasa, bukan luar biasa. Padahal untuk bisa maju kita perlu banyak-banyak berpikir positif, kata para motivator nasional itu. Pernah, dulu tetanggaku menyarankan padaku bahwa lebih baik aku kursus kapal pesiar saja, biar nanti bisa kerja di kapal pesiar dan menghasilkan banyak uang. Lumayan sebulan bisa mendapatkan delapan hingga sepuluh juta--tergantung prestasi. Sempat juga tergiur karena hasil yang didapat cepat. Tidak membuang-buang tenaga. Tetapi, ketika diri ini tersadar, panggilan jiwa tidak mengarahkan ke sana. Keinginan untuk mencari uang haruslah diimbangi dengan minat dan bakat, jangan hanya diarahkan ke arah-arah yang material. Hanya saja tak perlulah membantah tetanggaku yang sudah menyarankanku. Cukup berkata iya, dan ia akan berhenti bicara.

Kembali lagi ke Ndes kawanku yang agak ke-Jepang-jepang-an itu tadi. Ia bilang kita kerap negatif menilai sesuatu padahal kita tidak tahu bahwa sesuatu yang kita cap negatif itu tentu berguna bagi orang lain dan merupakan tambang emasnya. Masing-masing dari kita memang memiliki tambang emas sendiri-sendiri kan? Dan tidak akan pernah tertukar. Itu yang dijanjikan Tuhan. Nah, jika tetanggaku itu sempat berpikir negatif padaku soal nasib kelak yang akan terjadi padaku, pada keluargaku, biarkan saja. Tapi aku tidak harus ikut-ikutan mengecap berpikir negatif tentang pekerjaanku, tentang apa yang kusukai, tentang apa yang kuminati. Seperti aku tidak boleh mengecap buruk soal Ndesty dan Heng soal kecintaannya sama Jepang-jepang-an. Toh itu hak mereka. Mungkin juga panggilan jiwanya.
(Lilih Prilian Ari Pranowo)

Tulisan ini kupersembahkan untuk seorang, yang jiwaku sedang beralih ke sana: walau kau bersikap buruk padaku. Mudah-mudahan aku tidak berpikir negatif tentangmu. Karena aku menyadari bahwa kita semua memiliki alasan masing-masing dan menginginkan segala sesuatunya lebih baik.

3 komentar:

  1. Positif tinking adalah salah satu cara menuju kesuksessan dan keberhasilan.
    Gimana negeri mo maju klo masyarakatnya sudah negatif tinking... Hehehe..
    Oia ni blog masuk daftar link-link Trinil's Blog (TB).
    Terima kasih krn tlah nengok TB.

    ReplyDelete
  2. fufufu...

    jadi inget komentar tamu ayah saya yang ngeliat saya nonton naruto: "kamu ini umurnya berapa sih? kok masih nonton pilem kartun aja..."

    dan saya cuma nyengir saja...

    ReplyDelete