Di malam-malam yang terlupa, saya main-main ke kos seorang kawan. Letaknya ada di utaranya UGM. Ketika sampai di kosannya, kawan saya tampak serius. Dia memandangi selembar kertas putih. Saya yang penasaran segera mendekatinya dan bertanya, "Apaan nih?"
"Duit royaltiku yang belum dibayar," jawabnya.
Setelah kulihat angka nominal yang tertera terkejut juga aku, 50 juta. Kuberanikan diri bertanya, "Udah berapa lama ngendon di mereka?"
"Ini harusnya mereka bayar tahun ini, ya royalti terakhir."
Ckckck... heboh betul. Ternyata ada juga penerbit yang bermain curang begini. Sebetulnya, permainan curang penerbitan bukan barang baru lagi, bahkan hal itu sudah lumrah dan menjadi bagian yang bisa dimaklumi. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah jika penulis yang notabene tak tahu menahu jadi kena korban.
Apalagi, penulis (khusus yang mendapatkan sistem royalti) tidak mendapatkan laporan penjualan, atau semisal pun dapat bisa saja laporan penjualannya direkayasa. Tak ada badan pemeriksa di sini. Jadi, agak sulit kalau ingin mengecek kevalidan data laporan tersebut.
Nah, belajar dari sini, kami mengajak kamu-kamu semua untuk lebih waspada dalam memilih penerbit. Salah-salah kamu bisa merugi nanti. Buku kamu laku, dibilang laku. Buku kamu best seller, dibilangnya laku setengah. Jelas tidak fair...
Apa yang harus kamu lakukan sebetulnya cukup sederhana. Cari saja penerbit yang besar dan sudah punya nama. Titik. Karena dengan demikian, setidaknya ada jaminan kualitas dari penerbit tersebut untuk memberikan yang terbaik bagi penulis. Karena bagi mereka, kalian (para penulis), adalah aset tanpa batas yang sanggup mereka miliki. Sekiranya itu dulu catatan kali ini, besok bisa disambung lagi.
Apa kamu punya pertanyaan atau sanggahan soal postingan ini?
*) Pernah dimuat di www.penerbitnarasi.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment