Cerpen Cinta: Kamu

07 November 2012

print this page
send email
Aku sedang membaca ketika kawanku kos, Dwi namanya, masuk dengan tiba-tiba ke dalam kamarku. Membuat mataku segera berpaling ke arahnya. Ia yang kutatap tersenyum seraya melemparkan sapa.

“Halo, lagi apa?” tanyanya.

“Biasalah. Cuma baca sekalian merilekskan pikiranku,” jawabku, “tumben. Nggak keluar sama cowokmu?”

Ia menggeleng. “Nggak. Sepi aja di kamar sendirian, tanpa kawan. Maklum liburan panjang, pada pulang semua.”

Aku mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Betul apa yang dikatakannya. Hampir semua anak kos di sini sedang mudik menyambut libur yang panjang. Empat hari. Lumayan untuk melepas rindu, melepas beban yang membebat pikiran di kota yang menurutku kian sumpek dan panas saja ini. “O, gitu ya. Kupikir ada apa?” Aku kembali merebahkan diriku di kasur dan menyuntuki kata per kata bukuku.

Dan Dwi kawanku itu segera ke arah meja, mengambil laptop yang teronggok saja di atasnya. “Kunyalakan ya…” katanya.

“Ok.”

Untuk beberapa lama waktu berjalan, tak ada percakapan di antara kami. Semua dalam keheningannya masing-masing, menikmati kegiatan yang tengah disuntuki. Yang terdengar hanyalah derik suara kehidupan hewan malam dan suara dari laptopku yang sedang memutar lagu, entah apa judulnya—aku sudah tidak mengupdet lagu-lagu pop masa kini. Tiba-tiba saja Dwi kawanku itu nyeletuk.

“Vee,” kata Dwi.

“Hmm…”

“Kamu dapat salam.”

“Salam? Salam dari siapa?" tanyaku.

“Dari mantan kakak kelasku!”



"Siapa?"



"Mas Noel."
 

Deg. Jantungku berdegub cepat. Aku berhenti membaca. Lalu kutatap Dwi kawanku itu. “Ah, becanda kamu…” Dan, tanpa sadar, senyumku mengembang. Kubayangkan dia. Dia yang pernah ke kos ini beberapa tempo lalu untuk menemui Dwi dan memencet bel, namun tidak kudengar. Dia yang pernah menjadi cerita lima tahun silam.

“Nggak. Ini betulan. Suer.” Dua jari tangan kanannya—manis dan telunjuk—diacungkan, membentuk huruf V, yang memiliki maksud aku tidak bohong lho.

“Ya, makasih salamnya.” Senyumku masih belum menghilang dari bibirku. Dwi memandangiku dengan mimik aneh, membuatku terbingung dengan tingkahnya itu. Selanjutnya ia mengangkat bahunya, seperti mengisyaratkan bahwa “hello, aku menunggu jawab dari kamu lho.” Yang mana juga kubalas dengan gerakan yang tak kalah membingungkannya dengan mengangkat bahu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengisyaratkan bahwa “apa maksudmu? Aku nggak ngerti!”

“Gitu aja?” Akhirnya maksudnya terlontar juga dari mulutnya, persis seperti kukira.

“Gitu gimana?”

“Nggak ada balasan?”

“Nggak!” Kuakhiri pembicaraan. Dan keadaan kembali tenang seperti awal, terkecuali hatiku yang masih dag-dig-dug. Entah mengapa. Benakku kembali merekatkan kembali ingatan lima tahun lalu. Aku tidak menyukai itu. Dalam hati, aku mengutuk pecahan-pecahan ingatan itu. Mengapa dia datang kembali saat ini? Bukankah dia sudah cukup berumur untuk memiliki seorang istri? Aku mengeraskan hatiku. Peduli apa aku dengannya. Kubacai lagi bukuku. Menekuni kata demi kata untuk melupakannya.
[]

0 komentar:

Post a Comment